Thursday, February 2, 2012

CERPEN ULAR KEEMPAT



ULAR KEEMPAT
Oleh: Gus TF Sakai

* Bagian 1 

Lempeng Cahaya
16 Januari 1970
HUJAN sejak subuh, tapi kami telah berada di Rupit yang entah masih menunggu apa. Lewat jendela kapal, angkasa tampak bagai sepotong jubah di pundak raksasa. Menyungkup tebal, mendesau kental, dan berkibar.
Ke arah dermaga, pemandangan dipenuhi lampu. Suram, tak ubahnya seperti teplok kurus sumbu. Beberapa lampu yang cukup besar bagai berusaha menguak udara, tapi pendarnya seolah hanya seperti berasal dari dunia jauh entah di mana.
Tetapi, semua itu tak lama. Pagi menjelang, hujan lenyap, seiring dengan keserta-mertaan matahari. Ajaib. Semuanya berubah dalam satu keserentakan yang memesona. Laut bagai terbuka, dan langit bagai menganga. Kebesaran apakah, atau kebesaran manakah, yang mampu menciptakan gelap jadi cahaya?
Pukul 06.21. Datang juga akhirnya: waktu berangkat. Manusia merdeka, dari negara merdeka, berangkat ke kemenangan. Kemenangan? Ah ... diri yang celaka. Betapa. Dan merdeka? Bahkan, di paspor kami ada cap tebal persegi panjang berhuruf kapital: Perhatian! Paspor ini tidak berlaku untuk negara Arab Saudi di musim haji.
Mungkin lucu. Tapi mungkin juga tidak. Apa yang mampu kukatakan tentang dunia? Hanya ragam. Atau entahlah. Sekali waktu, ada yang datang berupa tragedi. Sekali waktu, ada yang datang seperti komedi. Dan aku suka saja atau lupa saja, seperti banyak orang yang tumbuh dan besar dengan tak cukup peduli. Tetapi di sini? Karena semua berangkat ke kemenangan, apa pun rintangan menjelma semangat. Doa-doa, dada terbuka, membuat kepala bagai bentangan besar; menerima segala hal dengan kasih dan cinta. Bukankah kasih juga, bukankah cinta-Nya juga - betapa, yang membuat kami berada di Rupit, berlayar di keluasan laut, menuju fajar lain: di dalam jiwa?
Kami, 447 orang. Dari Bima, Lombok, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan, berlayar ke Singapura.
Tetapi Singapura tentu saja hanya pelabuhan transit. Seperti tubuh kami, tubuh mereka, raga kami raga mereka; transit sementara ke alam baka. Betapa.
17 Januari 1970
Pagi yang cerah, setelah malam pertama di Laut Jawa. Adakah malam tadi kapal ini dipenuhi mimpi? Aku menduga, merasa-rasa. Ataukah, mata-mata jernih sarat harapan itu dikecamuki angan, tak sudah-sudah, tentang Tanah Suci? Tak ada kata-kata tetapi wajah mereka, kepenuhan diri mereka, menyampaikan lebih dari segala yang dapat atau mampu diungkapkan oleh apa pun kalimat melalui mulut. Tetapi ... aku?
"Panggilan itu, akhirnya, datang padaku ...," kata seseorang.
"Sungguh, serasa tak percaya saat ini tiba ...," kata seorang lain.
Memang aneh. Dan rezeki, di manakah tampuk musimnya? Aku, setelah datang tahun lalu, siapa menduga juga akan datang di tahun ini. Rahasia bagai kedalaman laut, seperti keluasan angkasa. Waktu dan ruang menjangkaunya, tetapi tangan dan pikiran siapa pun terlalu pendek untuk bisa meraba.
Laut tenang. Ombak kecil-kecil, memukul dinding kapal. Buih putih-putih. Sesekali melayang ikan. Ikan-ikan kecil, bagai disapu atau dioles perak. Seperti ratna, seperti manikam cahaya memantul-mantul. Dan berkelebat: rahasia, rahasia .... Ah! Kebesaran-Nya penuh. Pada yang diam, dan yang bergerak. Pada yang terlihat, dan yang tak tampak.
Rupit kecil, 1.808 ton, sangat kecil bagi keluasan laut. Kami kecil, sangat kecil - hanya debu, bagi semesta bagai tak ada.
18 Januari 1970
Hari ketiga. Tidakkah Tuhan bebas berbuat sesuka-Nya? Betapa. Sampai malam kemarin cuaca begitu tenang. Tetapi tengah malam sampai dini hari, laut tak ubahnya bagai kancah besar yang diguncang-guncang diaduk-aduk.
Dan, pagi ini kami bangun, dibangunkan oleh guncangan tepuk Karimata. Di manakah kini ia - si putri Karimata? Kubayangkan tahun, mimpi-mimpi, konon-konon, yang pernah hidup dan dikisahkan tentang si Putri. Menyelam, berenang-renang dalam dongeng, di mana (segala) cerita tentang cinta seolah hanya kehilangan dan keterenggutan.
Bayangan (ingatan) yang menggelikan - betapa. Karena, di mana-mana di atas Rupit, seperti inilah kami: tak mampu berdiri tak mampu mandi dan makan pagi. Semua bersitekuk, dan bagai terpuruk, di atas kasur dan tempat tidur dengan ikat kepala, obat-obatan, dan segala yang dikira dapat mengatasi pusing, deraan mabuk, lilitan mual, dan muntah-muntah.
Rupit sungguh bagai hanya secabik sabut, ringan dan enteng, di tengah luas dan ganasnya laut. Terombang-ambing, tak berdaya, seperti apung-entah yang pasrah. Sampai besoknya, kami dan Rupit seolah tak direlakan laut untuk dapat berdiri, tegak, walau sejenak.
Hujan lebat tercurah seperti sengaja ditumpahkan hanya untuk kami, dari sebuah gorong-gorong raksasa yang kelabu, pekat, sangat dekat di kepala. Guntur dan petir menggemuruh, seperti pecut putih yang dilecutkan entah oleh siapa dari kegelapan kelam jagat raya. Tuhan, benarkah apa yang ingin Kau sampaikan bahwa semua kekuatan alam ini sebenarnya indah? Dan seperti kata salah seorang jemaah, karena ia yakin ini gemblengan pertama, ia sungguh tak mau kalau dikatakan menderita.
Ke angkasa hitam, kulihat, jemaah itu tengadah. Langit gelap langit pekat, tetapi semua, katanya, terang saja. Ada langit lain, angkasa lain, di dalam dada. "Putih, benderang, melesat-lesat lempeng cahaya." Lempeng! Adakah ... adakah itu lempengan doa? Tuhan, tak ada hal yang ingin Kausampaikan kepada kami kecuali bahwa apa pun doa, dari hati yang bersih, adalah cahaya. Betapa. Tetapi, aku?
Allah mengeluarkan kau dari perut ibumu dalam keadaan tak mengetahui sesuatu pun ....
Dan Ia memberi kau pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kau bersyukur ....
Catatan:
(Terima kasih kepada: Abdul Hadi WM, atas kutipan terjemahan karya Fakhrudin Iraqi, Fazil, Ibnu Atha, dan Jalaluddin Rumi; A Jasin, atas 712 Mujahid Gambela yang Menggemparkan, catatan perjalanan haji musim haji tahun 1970 - khususnya gambaran lokasi, beberapa peristiwa, dan doa-doa; Taufiq Ismail, atas kutipan terjemahan puisi Doa Rabiah dari Basrah.)

* Bagian 2
"Kelas"
20 Januari 1970
Entah pukul berapa badai itu lenyap, tetapi gerimis dan lembab masih mengepung sampai dini hari. Walau tak begitu terpengaruh oleh guncangan laut, aku masih juga banyak termangu. Panggilan ini. Haji tahun lalu. Ingatan akan kampung. Betapa. Apakah sebenarnya makna kata "mampu" atau "sanggup"? Apakah ... yang telah kudapat di tahun lalu?
Rasa beruntung itu, kembali, tiba-tiba seperti lenyap. Seperti hari-hari lalu, cepat kusingkirkan sebelum menjelma kekosongan. Kukembalikan perhatian ke kapal. Tak seorang pun dari kami yang bisa benar-benar tidur. Ketika Said Asyik, muazin anggota rombongan dari Malang mengumandangkan suara lantang dengan bacaan tarhim di pagi subuh, segenap letih dan kantuk seolah direnggutkan dari Rupit. Kembali semua bergegas: bermuka-muka dengan-Nya.
Begitulah pagi kemudian datang. Lapis gelap kulit bumi kembali terangkat, dan garis-garis layah sinar matahari mulai menjalar di permukaan laut. Laut sudah tenang, tinggal riak-riak kecil; melompat-lompatkan cahaya. Kadang lompatan cahaya itu tampak seperti lentingan kaca yang tiba-tiba melesat, menghunjam-hunjam mengejutkan mata.
Pukul 09.00. Bagai dimunculkan dari perut laut, di depan kami mulai terhampar pemandangan berbeda. Rupit melambat, dan makin dekat, merapat ke jejeran kapal yang jumlahnya mungkin ratusan; besar dan kecil, dengan berbagai macam bentuk, warna, tipe, dan bendera. Dan akhirnya, dengan perasaan lega yang lain, kami telah masuk, menyelusup, di celah kapal-kapal. Masuk, terus masuk. Dan, inilah ia: Singapura. Gedung-gedung menjulang mencakar langit, bagai mencuat dari punggungnya. Cahaya matahari memantul, dari kaca-kaca di jendela-jendela. Juga dari dinding-dinding mobil yang mengilap menyerupai kaca.
Beberapa saat, kami sama tenggelam dalam keterpesonaan. Negeri kecil, tetapi megah. Seperti apakah ke depannya? Negeri kami disebut Mercu Suar di Jagat Raya. Tetapi memang, julukan itu hanya buat orang lain. Sesuai dengan namanya - mercu suar.
Kami disadarkan, tiba-tiba, oleh bunyi keras rantai yang bergemeronceng. Suara jangkar diturunkan? Padahal, kami belum merapat ke dermaga. Atau mungkin memang takkan merapat. Bukankah negara ini memang bukan tujuan kami?
Ternyata, memang tak merapat. Karena, tak berapa lama kemudian, dokter pelabuhan naik ke kapal. Dengan sigap dan ramah, ia melakukan tugasnya: kartu kuning diperiksa, bekas suntikan (terutama cacar) diteliti. Tak ada penyakit menular. Seluruh penumpang dinyatakan sehat.
Dokter belum turun ketika petugas imigrasi muncul dengan simpatik. Kembali kulihat: wajah(-wajah) muda, dengan senyum, pendar semangat - memeriksa semua paspor. Mereka bekerja cepat, cermat, tak ada waktu mengobrol dengan penumpang menanyakan ini-itu dan hal tak penting semacamnya kemudian minta rokok atau yang sejenisnya, seperti di negara kami.
Perbedaan pertama pada hari pertama di Singapura. Perbedaan antara republik muda kecil dengan republik besar, pimpinan The Smiling General.
Juga - hormat dan sopan, paspor kami dikembalikan. Sosok-sosok muda itu kemudian turun meninggalkan kami dengan senyum yang mungkin tak terlupakan. Dan, yang sangat tak terduga, dari bibir mereka lalu terlompat, "Selamat jalan pigi naik haji. Ha, nanti kita orang bisa jumpa lagi."
Demikian ucapan mereka - ah, ucapan yang meluncur dari bibir Cina; dari bibir yang berlainan suku, bahasa, dan agama. Padahal, mereka begitu muda, tetapi tahu ... sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa ... kalimat yang justru merupakan alinea pertama dalam undang-undang dasar negara kami.
Menurut rencana, besok 21 Januari 1970, kami akan overship (pindah kapal) ke kapal Gambela yang mungkin sudah lama menanti. Besok kami juga mesti menanti kawan-kawan lain dari Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan seluruh Sumatra yang berangkat dengan Ogan dari Jakarta. Sumatra! Ingatan tentang kampung itu tiba-tiba kembali mendera, dan aku segera menepisnya.
Selesai mendirikan Magrib dan Isya, kami seolah berhadapan dengan khayal. Gemerlapan lampu, warna-warni, menyorot berpendar, menyambar mata dan sosok-sosok tubuh yang berdiri di pinggir kapal. Di sekitar, kapal-kapal kecil meluncur hilir mudik di celah-celah kapal. Di antara kapal-kapal kecil itu, terlihat kapal polisi laut, tenang dan berkala, dua puluh empat jam, tak henti berputar-putar berpatroli mengelilingi kapal-kapal yang labuh jangkar.
Entah apa yang kini bergelut dalam pikiran masing-masing. Aku sendiri, bertelekan ke pagar kapal, menatap ke kejauhan. Bar-bar terapung memberikan pendar khas, teduh dan lindap, seperti ingin memisah dari berbagai cahaya yang seolah menelanjangi dari ketinggian. Menelanjangi, tetapi aneh, tetap tampak jauh bagai dalam cungkup, dalam kenangan. Kenangan? Tiba-tiba, di dalam kepalaku, Rupit menjelma jadi kapal lain sebelas tahun lalu. Tak tertahan.
Aku tak ingat kapalnya, tetapi itu adalah pelayaran pertama dalam hidupku. Tak terlalu kupikir bakal berlayar ke mana, karena menurutku semua sudah tamat. Kehilangan orang tua - dan sanak saudara! - telah meluluhlantakkan duniaku yang mentah dan remaja. Kehilangan sekaligus dan serta-merta.
Mereka menyebutnya: perang saudara. Tetapi, apa yang sebenarnya terjadi, tak lebih hanya semacam pembunuhan pada orang-orang tak bersenjata. Masih jelas kuingat, tentara pusat itu masuk ke kampung kami seperti gerombolan iblis. Mereka tertawa-tawa seraya berteriak, "Mana PRRI! Mana PRRI!" Orang-orang dewasa kemudian mereka giring ke rimba-rimba. Dan tak lagi pulang.
Aku tak tahu apa penyebab perang. Aku hanya tahu, dalam kehancuran itu aku tak lagi mampu melihat kampungku, dan memilih pergi. Dan di Teluk Bayur, di atas kapal itu, aku masih juga melihat mereka: tentara. Seperti bukan manusia, tempat berdiri kami mereka batasi dengan goresan kapur dan siapa pun tak boleh lewat atau melanggarnya.

Bagian ke 3
SANGAT buruk kenangan itu, dan aku sebetulnya tak mau mengingatnya. Sampai kini aku benci, muak dengan segala kekuatan atau kekuasaan yang menyebabkan terciptanya semacam “kelas” dan keterpisahan. Tentara-rakyat; si kuat-si lemah; kaya-miskin; suku besar-suku kecil, sungguh tolol. Dan makanya ... aku senang di sini, suasana kapal ini: menikmati pertemuan dengan bermacam suku dalam kebersamaan.
Mengingat itu, mendadak, kakiku melangkah sembarang arah. Turun, dan sampai di sebuah sekoci yang diisi oleh sekelompok jemaah dari Lombok. Begitu saja kue-kue tradisional dan jeruk Lombok yang terkenal besar-besar disuguhkan kepadaku. Aku menerima dan segera terlibat bercerita-cerita dengan mereka yang sebagian besar juga masih muda-muda.
Karena aku pemimpin rombongan, sampai jauh malam, bersama pemimpin kelompok lain aku mengontrol jemaah yang bertebaran di berbagai tempat. Di palka, saudara-saudara kami dari Bima mengisi waktu dengan keasyikan yang khas. Mereka bernyanyi dengan irama dan bahasa mengiba. Dari lagu itu aku bisa mengira mereka adalah orang-orang lembut, sabar, dan mudah menerima orang lain.
Entah kenapa, mereka orang-orang Bima, lebih senang berada di palka. Pada waktu jeda di sela-sela nyanyian, mereka berkelakar seraya mengisap rokok besar-besar gulungan sendiri. Sementara di atas, di haluan, saudara-saudara lain dari Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan menjadi pandu dengan lagak campuran Bugis-Jawa-Banjar, menimbulkan kelucuan, tetapi tak janggal; bahkan akrab.
Di kapal ini, ahai, kami hanya masyarakat manusia. Tak ada sesuatu yang membuat kami harus berbeda.
Dan, lihatlah malam ini kami bahagia. Sama bercanda, lalu mendengkur di kampung terapung.
21 Januari 1970
Labuh jangkar hari kedua di Singapura. Hari kedua yang, menurut rencana itu, Ogan akan datang-tiba dari Jakarta.
Dan, betul. Selepas pagi, kami pun melihatnya. Persis seperti kemarin, dari arah dari mana kami datang, Ogan mendekat dan mendekat. Semakin dekat, semakin rapat, dan labuh jangkar tepat di sebelah kami. Oh … saudara lain telah datang. Datang untuk berangkat, bergabung ke kemenangan. Akankah kami benar-benar sampai ke tujuan?
Dan lihatlah kemudian. Semua penumpang merangsek, mendesak ke bibir kapal. Bukan hanya kami penumpang Rupit, tetapi juga mereka penumpang Ogan. Dan tiba-tiba, bagai dikomando dan entah dimulai oleh siapa, salam dan pekik takbir menggema: bergemuruh, meluncur memenuhi udara - bagai jembatan, melantun-lantun bersahutan.
Dan tiba-tiba pula, aku pun sadar. Tugasku. Pak Sukarmi, jemaah yang sakit sejak berangkat dan bertambah parah sesudah Karimata.
Kudatangi kapten. Pengeras suara ia berikan.
"Halo Ogan, halo Ogan, di sini Rupit, di sini Rupit."
"Halo Ogan, halo Ogan, Rupit memanggil, Rupit memanggil. Harap segera dokter ke Rupit, harap segera dokter ke Rupit."
Hening sejenak. Tiga detik. Enam detik. Detik kedelapan, "Halo Rupit, halo Rupit, di sini Ogan, di sini Ogan. Dokter segera datang, dokter segera datang."
Komunikasi berjalan lancar. Aku lega.
Tak sampai lima menit, sebuah motor boat meluncur dari Ogan ke arah kami. Itulah ia, si dokter. Masih muda, tinggi bersih, dengan kesan ramah yang kentara.
Ia tersenyum, mengucapkan salam. Diperkenalkannya diri: Rudy Syarief, dari Bandung.
Dengan teliti, Dokter Rudy memeriksa Pak Sukarmi. Beberapa saat kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala. "Harus dipindahkan ke kamar," katanya. Aku bergegas ke Kapten. Dan atas usulan Kapten, Pak Sukarmi kami pindahkan ke kamar seorang perwira.
Semua prihatin. Semua berduka.
Pak Sukarmi sakit tua. Walau semangatnya menyala, daya tahan tubuhnya telah menurun. Tetapi, tidakkah ia tengah sangat beruntung? Tak seorang pun di kapal ini yang tidak berdoa untuknya.
Beberapa jam lewat, tetapi belum ada tanda-tanda bahwa kami bakal pindah kapal. Ada apakah? Ketika aku menjenguk ke tempat Kapten, ia tak kelihatan. Juga awak yang lain.
Di kamarnya, aku memperoleh laporan: Pak Sukarmi semakin parah. Kembali aku memanggil, "Halo Ogan, halo Ogan, minta dokter, minta dokter ...."
Dokter Rudy kembali datang. Memeriksa, tetapi kali ini wajah Sang Dokter seperti pasrah. Pak Sukarmi kritis. Dan setengah jam kemudian, tepat pukul 19.00, Pak Sukarmi mendahului kami menepati janji: kembali kepada-Nya.
Rupit berduka.
Dari Dokter Rudy juga, akhirnya, kuperoleh jawaban itu. Tetapi ... benarkah? Benarkah ada orang, ada manusia, mau dan rela membuang waktu menghalang-halangi kami?
Tak Patut untuk Berduka
22 Januari 1970
Pak Sukarmi, jemaah tua dari Jember, Jawa Timur, telah mendahului kami. Tugasnya telah selesai akan tetapi, kata salah seorang jemaah, semangatnya bakal tinggal bersama kami - 446 calon mujahid lainnya.
Jenazah Pak Sukarmi kami sucikan dan kami kafani. Begitu selesai kami salatkan, mata jemaah saling tatap dan bagai sepakat: sebelum sampai, tak bakal ada keinginan pulang. Apa pun macamnya penghalang.
Pukul 08.30, M Thaib Jasman dari Usaha Enterprises naik ke Rupit dengan tugas mengatur pemakaman jenazah Pak Sukarmi di darat. Dengan sejumlah muslim setempat, mereka menaikkan jenazah Pak Sukarmi ke motor boat dan memisahkannya dari kami.
Ada rasa haru.
Belum seminggu, tetapi Pak Sukarmi bagai bagian yang telah lama dari kami. Betapa misteriusnya waktu. Betapa mengagumkan kebersamaan. "Ukhuwah," kata seseorang.
Ukhuwah? Serta-merta berkelebat di kepalaku pikiran itu: betulkah kami tengah dihalang-halangi?
Bagian 4
23 Januari 1970
Dengan nasi dan telur asin, kami sarapan pagi. Bisu sejak tadi malam, tetapi bisu yang bagai digumpali doa. Walau tak ada yang terang-terang berkata, aku tahu: kabar itu telah menjadi kegelisahan bersama. Dan perlahan tetapi pasti, khawatir dan waswas mulai merayap, bagai mengambang di udara Rupit.
Beberapa orang, sejak pagi ini, sering pula menatapku. Walau mulut mereka terkunci, tetapi mata mereka diserabuti tanya. Dan menjelang siang, seorang kiai dari Lombok, akhirnya, tak lagi bisa menahan. Dengan tekanan dan mimik berusaha bercanda, ia berkata, "Pak Janir, berapa persen kira-kira antara pulang ke Surabaya atau terus ke Jeddah?"
"Menurut keyakinanku, tentu seratus persen Jeddah."
"Alasan Pak Janir?"
"Kita orang merdeka, tak melanggar aturan mana pun dan tengah beribadah. Apakah undang-undang kita melarang warga negara melakukan ibadah?"
Wajah sang Kiai tampak puas. Tentu ia mendapatkan apa yang ia inginkan dalam kalimatku. Disalaminya aku. Digenggamnya lama.
Aku tersenyum. Ia membalas. Beberapa menit kemudian terdengar kumandang azan dari radio. Azan Jumat, di-relay oleh Radio Singapura dari Masjid Raya.
Selesai Jumat, ketua tim pimpinan jemaah di Ogan, Pak Haji Dalari Umar, berkunjung ke Rupit. Orangnya belum begitu tua, badannya kekar. Mukanya dipenuhi jambang dan jenggot, mengesankan ia seorang yang keras. Ia datang dengan berita, “Besok kita berlayar. Ke Port Swettenham. Di sana kita pindah ke Gambela, dan terus ke Jeddah.”
Ada perubahan rencana, kiranya. Tetapi tak apa. Aku mengingat-ingat. Kemarin Kapten memang menyebut-nyebut nama itu - ya, sepintas - dalam dialog kami. Port Swettenham. Pelabuhan Kuala Lumpur, Malaysia.
Berita itu segera menyebar, melompat dari orang ke orang. Semua mengucapkan syukur. Ada yang menangis, tangis bahagia. Dan bagaimanapun, pundak dan dadaku terasa ringan. Berkilo-kilogram beban bagai menguap, lolos lepas entah ke mana.
Dalam tidur malamnya, aku bermimpi. Beratus-ratus orang, beribu-ribu orang, berteriak-teriak mengacungkan api: membakar patung tubuh Tengku! Sebuah peristiwa yang sebenarnya bukanlah mimpi, karena peristiwa itu betul-betul pernah terjadi. Beberapa tahun lalu, dan sangat menyesakkanku.
"Kelas", keterpisahan, dan budak dari kejalangan. Apa lagi yang bisa kukatakan tentang itu? Dan besok, kami akan berlayar ke sana, ke negeri Tengku. Sebuah negeri yang konon membuka dan menutup siaran radionya dengan alunan ayat-ayat suci.
24 Januari 1970
Pagi yang mengejutkan. Beberapa utusan mengunjungi kami para pemimpin Rupit. Kesimpulan tiba-tiba: Pemerintah Singapura tidak mengizinkan kami untuk terus di sini. Kami diinstruksikan untuk kembali ke Jakarta. Dan konon, pemerintah Indonesia yang meminta demikian.
Tak ada ucapan yang keluar dari bibir kami. Sungguh kami tak paham. Tak mengerti. Kenapa harus dihalang-halangi? Bukankah mereka, katanya, adalah “Sang Bapak”? Pemimpin tempat kepada siapa kami, seperti yang dijargonkan Angkatan Perang Republik Indonesia waktu PRRI itu, bakal meminta dan mendapatkan hak-hak kami? Tiba-tiba aku merasa seluruh jemaah disikapi sebagai pemberontak, seperti masa lalu yang melemparkanku begitu jauh.
Kembali Rupit berduka. Akan tetapi, seperti kata salah seorang jemaah yang kudengar pada hari ketiga itu, kami bukanlah orang-orang yang patut untuk berduka. Sungguh, tak mampu kukatakan tentang dunia. Tetapi, tentang negara yang katanya bakal berada dalam orde cerah masa depan (bersama "pahlawan" The Smiling General) lebih lagi tak kumengerti.
Entah kenapa, hawa laut Singapura kini terasa panas.
Tonggak-tonggak tiang kapal mencuati udara. Ratusan, dan seolah menggigil dipagut atmosfer.
Aku sendirian. Berdiri di haluan. Di depanku, gigil tiang Rupit tampak seperti terbeban: mengepakkan bendera. Merah-Putih itu. "Si Persatuan". Berkelebat di kepalaku ucapan seorang jemaah di hari pertama: "Bila tiang ini diteruskan ke atas, di sanalah Ia bertakhta, di arasy-Nya." Arasy? Tiba-tiba bagai kudengar suara-suara (doa-doa?) memenuhi kapal.
Pada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.
Tunjukilah kami jalan yang benar.
Kami pergi bukan untuk bermaksiat, tetapi untuk beribadah.
Tolonglah kami. Sadarkan mereka.
Insafkanlah mereka yang berbuat bukan atas keinginan mereka. Bukankah mereka tengah mendustai diri dan karena itu pantas dikasihani?
Aku jatuhkan pandang. Seorang ibu tua tafakur, khusyuk membaca doa manasik. Tubuhnya ringkih, tetapi apakah yang membuat dirinya tampak begitu tegar?
"Allazina aamanu yuqotiluna fisabilillah - Orang-orang yang beriman itu berperang di jalan Allah."
"Waallazina kafaruu yuqotiluna fisabilit thoghuuut - Dan orang kafir itu berperang pada jalan setan."
"Faqotiluuu auliaaaasy syaithoooon - Perangilah golongan setan."
"Inna kaidasy syaithoni kana dhoiiifa - Sesungguhnya tipu daya setan itu sangat lemah."
Mereka kuat, kalau kami takut.
Mereka lemah, kalau kami berani.
Kami hanya takut kepada-Mu.
Kami berani kepada semua musuh-Mu.
Bagian ke 5
Lama aku terpaku. Doa-doa, sejak entah kapan, selalu berdesakan di kepalaku. Tetapi, kenapa tak pernah ... jadi bagian dari dagingku? Dari darahku, dari pori-poriku? Sering aku berpikir, dan ujungnya selalu sesal. Semua --- doa-doa itu, menempati ronggaku -- tak lebih bagai barang. Setiap bertambah hanya memakan ruang. Betapa.
Kembali aku tengadah, tetapi tiba-tiba terbelalak. Di puncak tiang itu, "Si Persatuan" telah tak ada. Dan apa yang kini kulihat ... tak salahkah mataku? Seekor ular! Seekor ular, sepangkalan lengan, membelit tiang dengan kepala tegak mencaduk! Ia, ular itu, menatap lurus ke arahku.
Refleks, tanganku bergerak mengucek mata. Ketika kembali kubuka ... "Si Persatuan" kembali ada! Kukerjap-kerjapkan mata. Merah-Putih.
Halusinasi? Tetapi ... alangkah nyata.
Malam, Kapten datang membawaku berbicara empat mata di kamarnya. Berunding. Tak ada kata sepakat.
Pukul 23.00, bersama Kapten Ogan, kapten kami turun ke darat menemui agen mereka.
Aku pun turun ke bawah, berunding dengan anggota tim pimpinan lain. Pak Thayeb Abdullah dan Pak Siddik Abu Bakar dari Bima, Pak Kiai Agus Alwi dari Lombok, Pak Subli Ahmad dari Banjarmasin. Sampai larut malam.
Sudah dini hari, belum juga aku tertidur. Di luar, pada suatu tempat, di pantai yang jauh entah di mana, angin darat meniup perahu nelayan ke ketengahan laut. Apakah yang mereka punya, selain keberanian? Adakah malam ini mereka berhasil memperoleh tangkapan dan besoknya, dan besoknya lagi, selalu dan senantiasa memiliki harapan?
Sebelum benar-benar tertidur, aku merasa seekor ular betul-betul melingkar di sampingku.
Ia menggeliat, merayap ke luar dari kegelapan. Ia menggeliat merayap ke luar dari kegelapan, dengan dendam dan kebencian. Karena kalian dari tanah, dari lumpur-lempung rendah, dan karena api baginya lebih tinggi. Apa yang bisa menghanguskan selain api? Ia adalah api. Lidahnya api. Matanya api. Belitannya, apa yang kelak paling berbahaya dari segala yang mencelakakan pada dirinya, adalah api. Dan selamanya ia berpikir tak ada yang lebih menakjubkan, tak ada yang lebih mencengangkan, tak ada yang lebih istimewa selain api.
Bagaimana kalian, wahai tanah, bisa dikatakan lebih mulia dari kami? Bagaimana kalian, lumpur-lempung rendah, bisa dikatakan lebih tinggi?
Rumah Bulek
Ingatan tentang masa kanak-kanaknya, selalu, dimulai dari sepotong jalan. Jalan tanah berlebar tiga meteran, yang satu ujungnya bertumbuk dengan jalan besar berbebatuan, dan ujung satunya berbelok menurun lenyap ke tikungan. Jalan yang mersik berdebu kalau kemarau, yang segera becek berlumpur bila hujan mengguyur. Pada debu mengepul, atau dalam hujan mengucur, ia lihat dirinya yang kecil, kurus cokelat dekil, berlari-lari kecil. Dan ilalang, ilalang yang rimbun menyibak di sepanjang kiri-kanan jalan (yang kuyup terangguk-angguk kalau hujan; yang bila kemarau bagai membungkuk, tertekuk, ditekan tebal debu yang membeban), heran, ia bayangkan bagai lautan. Ya, laut itu. Laut yang dibelah oleh tongkat Musa. Kenapa bisa?
Memang, heran. Itu pulakah yang membuat ia selalu berlari-lari kecil, tak pernah berjalan biasa -- karena seperti Musa, ada sesuatu yang mengejar di belakangnya?
Tetapi, tidak. Tak ada apa pun yang mengejar. Dan, kalaupun ada, itu bukanlah sesuatu yang muncul dari belakang; melainkan sebaliknya, sesuatu yang tengah menunggu di depan.
Di depan, di ujung jalan yang menurun lenyap ke tikungan (ya, ia lebih sering ke bagian ujung jalan ini dibanding ujung jalan yang satu lagi), di situlah habis hari-harinya. Ada kolam mata air kecil, mereka menyebutnya kulah, yang sekemarau apa pun airnya tak pernah susut. Tak jauh dari kulah, dihubungkan oleh jalan setapak bercowak ke bagian tanah lebih tinggi, ada surau kecil. Dari kulah juga, ke arah yang berbeda, ada tali bandar yang turun melingkar, melebar, terus melebar, yang pada suatu titik bercabang dua. Cabang yang satu membelok patah, untuk kemudian turun, menikung, menyisi mengikuti lengkung tikungan jalan. Cabang yang lain, yang lebih lebar, membelok ke arah berlawanan, terus mengalir, turun berliku menuju persawahan. Di sisi persawahan, bagai dibelah-dipisah bandar, terhampar sebidang tanah. Menggunduk meninggi, sedikit menjorok, menyerupai tanjung. Bila dilihat dari kejauhan (dari jendela surau, misalnya, walau pemandangan ke sana terhalang beberapa pohon terutama kelapa), di tengah segala yang merendah, tanjung itu lebih tampak serupa pulau. Nah, di situ: di "pulau kecil" itulah.
Di Pulau Kecil (demikian memang ia dan teman-teman kemudian menyebutnya) itu, ada sebuah rumah. Karena berbeda dari rumah-rumah mereka (rumah-rumah adat berpanggung dengan atap-atap bergonjong yang dinamakan rumah gadang), rumah itu mereka sebut rumah bulek. Bulek dalam bahasa daerahnya berarti bulat. Ia tak mengerti kenapa orang-orang kampungnya menyebut rumah bulek bagi rumah-rumah yang bukan rumah gadang. Toh pada kenyataannya rumah bulek itu sama sekali tidak bulat, melainkan tetap bersegi, punya sudut. Perbedaan yang mencolok dalam pandangan kanak-kanaknya waktu itu, hanya terletak pada ketakadaan gonjong. Betapa aneh (dan juga tolol) bahwa, setelah bertahun-tahun kemudian, sampai kini, ia tak pernah bertanya-tanya tentang itu.
Rumah bulek itu, agaknya, juga tak bisa disebut rumah. Ditegakkan hanya dengan empat tonggak, dengan jarak masing-masing tonggak tak lebih enam meter, dan diberi dinding dengan anyaman bambu seadanya, akan lebih tepat kalau disebut dangau. Apalagi saat mereka – ia dan kawan-kawan -- "menempati"-nya, rumah bulek itu telah sangat doyong dan dindingnya telah bolong. Tetapi begitulah, rumah bulek kepunyaan-peninggalan Ayang Burak, lelaki tua tak berkeluarga, punah, yang meninggal entah kapan (tolol, ia juga tak pernah menanya-nanyakan), mereka perbaiki; meluruskan, menopang sisi yang doyong, menyisik dinding-dindingnya, lalu "menempati". Oh, betapa menyenangkan. Betapa menggembirakan. Dan … semua itu, prosesi "menghabiskan hari-hari" itu, lengkapnya kalau diurutkan, kira-kira begini:
Bagian ke 6
IA turun dari rumah (rumah gadang ibunya, tentu) di pinggir jalan tanah berlebar tiga meteran itu. Ia senang melompati dua-tiga anak tangga sekaligus, lalu berjalan melintasi halaman luas yang tak pernah bersih dari guguran daun empat pohon petai besar yang berbaris-berjajar ke bibir jalan. Di bibir jalan, ia akan berhenti sejenak, dan walau telah pasti akan berlari ke kanan; ke arah ujung jalan yang menurun lenyap ke tikungan, ia menoleh juga kiri-kanan sebelum menyentakkan tubuh mengayun badan.
Sebelum sampai ke ujung jalan, ada kalanya ia bertemu dengan satu-dua orang teman. Dan, seperti dirinya, temannya itu akan ikut berlari-lari kecil. Di tikungan, tepat di tengah penurunan, mereka akan keluar dari jalan. Lurus saja, memutar ke belakang surau, mereka disambut oleh jalan setapak berkelok, menurun, yang berujung di tepi bandar. Mereka pun menyusuri tepi bandar itu, terus, untuk kemudian sampai ke persawahan. Si Pulau Kecil, itu dia, telah terbentang di hadapan mereka. Rumah bulek, dengan beberapa teman yang telah lebih dulu datang, akan segera menelan-melengah mereka.
Di rumah bulek itu, selalu, ada saja yang mereka lakukan. Di musim hujan, kenangan yang tak terlupakan adalah membakar ikan. Tugas ia dan teman-temannya yang masih bocah adalah mencari dan mengumpulkan reranting untuk kayu bakar, sementara tugas teman-teman yang lebih besar (dan kebanyakan telah sekolah) adalah menangkap ikan (kadang juga belut) di bandar dan sawah, menyiangi, meracik bumbu sedapatnya, dan lalu membakar. Di musim kemarau, ingatan yang paling mengesankan adalah bermain layang-layang. Lokasi itu sungguh sangat tepat, karena berada di ketinggian. Setiap layang-layang yang dianjung dapat dipastikan bakal tetap naik, berangin keras atau tidak. Dan tugasnya yang bocah, tentu saja, adalah menganjungkan. Sigap, seraya memegang layang-layang, mengangkat tangan merentang benang, ia akan berlari-lari menuruni tanjung ke arah sawah, meniti pematangnya (tak sekalipun ia pernah terjatuh, walau terengah-engah). Pada jarak yang cukup, ia akan berhenti, mengangkat layang-layang itu tinggi-tinggi, dan melepaskannya saat ada aba-aba yang diikuti tarikan benang oleh si teman lebih besar, pemiliknya, dari atas tanjung di seberang sana. Layang-layang itu akan menjujut-meninggi, dan ia mendongak mengawasinya. Layang-layang itu pun mulai melenggok, tanda diloro-diulur pemiliknya. Dan ia akan tersenyum puas, menghela napas lega.
Selesai membakar ikan (bila musim hujan), atau sehabis main layang-layang (kalau musim kemarau), selalu kemudian ia sadar, dan takut: telah sore, salat Lohornya lewat. Segera ia ingat Datuk, kakak neneknya, yang akan sangat marah (dan tak jarang menyediakan lidi – cambuk) bila tahu salatnya tak lengkap. Padahal, selagi asyik main layang-layang atau membakar ikan, sebenarnya, ia mendengar suara itu: azan, yang mengalun lamat-lamat dari surau. Bahkan, selalu ia tertegun, karena suara azan sekecil dan sehalus apa pun baginya menggetarkan. Tetapi begitulah, keasyikan bermain selalu lebih kuat (sebuah suara entah dari mana bagai tak henti berkata, “Lupakan!”) untuk kemudian membuat ia menyesal dan berjanji tak melakukan lagi. Tak melakukan lagi? Ya, tetapi beginilah urutan (peristiwa) berikutnya:
Ia, dengan beberapa teman (tak pernah semua, karena selalu ada yang tinggal dan bahkan tidur di sana), akan pulang dari rumah bulek. Seperti datangnya, saat kembali mereka juga menempuh jalan setapak sepanjang tepi bandar itu. Tetapi selalu, di suatu bagian di mana bandar itu diperlebar dan diempang oleh orang-orang dewasa, akan ada saja temannya yang tiba-tiba membuka baju dan melorotkan celana. "Mandi! Kita mandi!" kata Si Teman. Dan begitulah kemudian mereka berebutan terjun ke bandar, tempat di mana, sebenarnya, adalah bagian berikut dari prosesi "menghabiskan hari-hari" itu. Menciduk, sesembur, saling tekan membenamkan kepala, cekuk-cekuk.... oh, betapa. Betapa sesudahnya, setelah jarak dan jauh dari semua, ia bisa melihat betapa ajaib kampungnya. Bandar itu, hujan atau kemarau, airnya tetap segitu-segitu, selalu ada. Kulah, kulah itulah rahmat besar yang selama apa pun kemarau tak pernah membuat kampung mereka kekeringan. Kulah itu .... ia ingat, konon, kata orang-orangtua, jarung-nya, mata airnya, bersumber dari sebuah gunung yang sangat jauh dari kampung mereka.
Mengingat mata air itu, dan mengingat cerita orang-orangtua tentangnya, entah kenapa, waktu itu, ia beranggapan apa yang disebut jarung adalah semacam ceruk-lorong di dasar kulah yang menghubungkan kolam itu dengan gunung yang jauh. Dalam pikirannya yang bocah, betapa mengagumkan lorong itu. Alangkah panjang, sedemikian jauh, entah berapa kampung dan entah kampung apa saja yang dilewati, tetapi di kampung mereka lorong itu "menyembul" --- kenapa bisa? Ada lagi. Cerita orang-orangtua juga: kulah itu sati. Sati dalam bahasa kampungnya berarti angker, berhubungan dengan hal-hal gaib yang menakutkan. Kalau mereka main di sana, akan ada saja orang-orangtua atau orang-orang dewasa tiba-tiba berkata, "Hei, jangan main di sana! Nanti kalian tasapo!" Tasapo itu maksudnya diganggu makhluk halus, yang membuat siapa tasapo bisa jatuh sakit dan meninggal. Makhluk-makhluk halus itu, konon, kadang menampakkan diri dalam wujud berbagai binatang aneh yang dalam waktu-waktu tertentu (dipercayai tengah hari dan senja) menampakkan diri di permukaan kulah.
Ia ingat pernah tak lepas-lepas memikirkan jarung itu, lorong yang mencengangkan itu. Bahkan pernah suatu ketika diam-diam ia menyelam (tak boleh digunakan untuk apa pun kulah itu selain berwudu) ke dasar kulah, ingin melihat seperti apa lorong itu, mencari-cari, tetapi tak ia temukan. Diulangnya di hari lain, tidak juga. Diulangnya lagi, juga tidak. Entah berapa hari entah berapa kali ia mengulang sampai kemudian orang dewasa mengetahui perbuatannya, memarahi, dan melaporkannya kepada Datuk. Di rumah, ia dimarahi Datuk -- untung tak pakai cambuk. Maka, ia tak lagi berani mencoba menyelami kulah mencari-cari si lorong. Tetapi, walau demikian, sampai lama ia tak pernah menghilangkan bayangan itu: berada dalam jarung, bisa bernapas dalam air, lalu berenang terus ke dalam, terus, oh (karena sebenarnya ia tak percaya lorong itu hanya menyembul di kampungnya), di kampung manakah ia bakal muncul? Atau kalau benar hanya menyembul di kampungnya, di bagian mana dan di tempat seperti apakah di gunung itu si lorong berawal? Atau, jangan-jangan, lorong itu berawal dari sebuah negeri yang ganjil; negeri makhluk halus itu, dan ia akan bertemu dengan berbagai wujud binatang aneh yang ditakutkan: bengkarung putih, ikan hijau, katak sirah, dan ular-ular yang mendesis, menggeliat, merayap ke luar dari kegelapan.....
Bagian ke 7
ASTAGA, telah senja! Kembali ia sadar, dan takut: salat asar-nya lewat. Padahal, seperti tadi di rumah bulek, sebenarnya, ia mendengar suara itu--azan yang menggetarkan. Bahkan lebih jelas; tentu saja, karena bandar tempat di mana mereka mandi sesembur cekuk-cekuk itu lebih dekat ke surau dibanding rumah bulek. Tetapi, begitulah, sebuah suara entah dari mana selalu tak henti berkata, “Lupakan!”
Wajah Si Datuk melintas. Lidi. Cambuk. Celaka, ia benar-benar akan celaka.
Ingatan pada Guru Muqri
25 Januari 1970
Pukul 06.00. Sebuah motor boat meluncur menuju Rupit. Siapa? Setelah dekat, kukenali ia: Jalil Haron. Orangnya gemuk, berkumis tipis, dan berkaca mata. Ia mengajakku dan Pak Thayeb segera ke Ogan.
"Ada apa?" tanyaku.
"Pak Janir akan tahu. Nanti."
"Sepertinya sangat penting."
"Yaa ... kita harus cepat."
Kami ikuti langkah Jalil Haron yang bergegas, turun ke motor boat. Di belakang kami, jemaah menatap dengan sorot mata gelisah dan bertanya-tanya. "Hanya lima belas menit,” kataku menirukan Jalil Haron, menenangkan.
Di Ogan, Pak Haji Dalari Umar dan para pimpinan jemaah lain tampak bagai menyambut kami. Wajah mereka tegang, tetapi sikap dan tindak-tanduk mereka kelihatan berusaha tenang. Hanya sebentar, aku segera tahu: mereka, ternyata, memiliki pikiran yang sama dengan kami.
Hanya lima menit kami berunding, tercapai kata sepakat.
Bergegas, kami balik ke Rupit. Tetapi toh, saat naik ke kapal, berpapasan juga dengan Kapten. Mulutnya mengucapkan selamat pagi, tetapi matanya seperti awas -- bertanya-tanya. Hmm, benar-benar harus dimulai dengan kewajaran.
Kusampaikan apa yang telah diputuskan kepada tiga pimpinan jemaah lain. Pak Subli Ahmad terganggu kesehatannya, sehingga Pak Zukroni -- seorang jemaah dari Surabaya – terpaksa menggantikan tugas Pak Subli. Tak masalah.
Kulihat Kapten kembali ke darat. Dari seorang ABK (anak buah kapal) kudengar, konon Si Kapten malam tadi naik ke kapal telah hampir pagi. Tidakkah perhitungan kami menemui angka baru? Jangan-jangan meleset. Ternyata tidak. Syukurlah. Pukul 11.00 Si Kapten kembali muncul. Sungguh kebetulan: ia memanggilku saat aku memang memerlukannya.
Cepat aku naik, ke kamarnya.
Wajahnya serius.
"Bagaimana, Kapten?" tanyaku.
Ia tak segera menjawab. Ditutupnya pintu, diangkatnya pundak. Ia melangkah ke meja, meraih dua gulungan kertas yang tergeletak di atasnya. Seraya membuka gulungan yang panjang, gulungan yang pendek ia sodorkan kepadaku. Katanya, “You boleh baca. Sekarang, saya tak lagi bisa berbuat apa-apa.”
Cepat gulungan itu kuterima. Tak sabar kubuka. Surat perintah – dalam bahasa Inggris. Kubaca yang terpenting: Rupit, port clearance Jakarta.
"Kembali ke Jakarta?!"
"Yah, begitulah .... Saya hanya pegang aturan. Menjalankan perintah atasan."
Kulihat air mukanya. Seolah ada yang bisa kubaca. Hening seketika. Ia membuka tangannya lebar-lebar, mulai meloloskan kancing baju, dan perlahan berdiri dari kursi. Tanpa suara, tanpa kata.
Apa lagi yang kutunggu? Segera aku pamit, turun.
Dugaan pertama dalam perhitungan kami tepat. Satu jam lagi Rupit bakal angkat jangkar, kembali ke Jakarta. Tak tampak kesibukan di Rupit dan Ogan. Tetapi, tentu, kami sudah harus mulai sibuk dengan rencana.
Lohor dan Asar kami gabung, jamak takdim. Sesudahnya, kami tengadah mengangkat tangan. "Ya Allah, hanya Engkau yang Mahatahu. Ridailah tindakan kami." Dan, saat kami keluar, perwira-perwira kapal dan ABK tampak sudah mulai sibuk. Perintah telah akan dilaksanakan.
Perlahan, kapal mulai bergerak. Memutar setengah putaran, lalu pelan-pelan pula menjaraki Ogan. Meninggalkan Singapura, tempat kami menginap hanya lima malam. Dan seperti lima hari lalu, riuh takbir di Rupit, riuh takbir di Ogan.
Entah kenapa, Ogan tampak masih tenang, tak terlihat tanda-tanda akan mengikuti. Tetapi tak masalah. Karena kami tahu port clearance Ogan pelabuhan Belawan. Selamat berpisah, Ogan. Berpisah dalam tanda petik.
Di buritan, burung-burung laut terbang mengikuti kami. Melayang berputar-putar seolah di tempat yang sama, di angkasa yang itu juga, tetapi pada kenyataannya mereka beranjak, tetap ada di atas kami. Sesekali ada yang tiba-tiba menukik ke permukaan laut, berkecipak, hilang sejenak, lalu kembali muncul dengan seekor ikan kecil entah apa terjepit di paruhnya. Ah, tak ada yang tak berjuang untuk hidup. Ikan kecil itu, kenapa ia tak waspada bahwa bahaya selalu datang setiap ketika?
Kembali aku naik ke atas, bicara dengan Kapten. Bicara yang hanya sekadar bicara, memperwajar suasana. Ketika turun, kusapa juru mudi. Tangannya kokoh menggenggam kayu bundar berjeriji. Sejenak ia menoleh, menjawab sapaku dengan senyum, sebelum kemudian matanya yang tajam -- hidungnya sungguh besar -- kembali menatap ke depan.
Kuteruskan langkah belok kiri, ke kamar peta. Peta Singapura terbentang di meja, penuh coretan Stiurman II.
"Hallo, Second. Bagaimana, baik?"
"Yeah. And you?"
"Yeah juga. Sama. Pergi haji atau tidak, tak ada bedanya."
Ia tertegun, menoleh mencari mataku: ragu. Aku tertawa. "Saya bercanda," kataku menenangkan. "Kami tahu Anda cuma menjalankan tugas." Kutepuk pundaknya, "Berapa jam lagi sampai Lampu I dan keluar?"
Bagian ke 8
IA angkat pergelangan tangannya yang dilingkari arloji, meliriknya sekilas. "Kira-kira dua jam."
"Oke, Second, sampai ketemu dua jam mendatang."
Aku kembali ke tempat yang dijanjikan satu jam lalu. Di luar dugaan, ternyata kawan-kawan sudah berkumpul. Sungguh, aku tak menyangka mereka akan disiplin. Setelah masing-masing bicara menyampaikan perkembangan seperlunya, kukeluarkan instruksi pertama: akurkan arloji. :Lima puluh menit lagi kita berkumpul. Di sini."
Bagai takkan terjadi apa-apa, Rupit tetap berlayar, tenang. Kami lewati selat-selat kecil di pulau-pulau kecil sekitar Singapura. Di sekitar kami, permukaan laut hanya berwujud riak yang juga kecil-kecil. Ombak putih bersih -- berpuncak buih -- menyibak ke kiri-kanan, dibelah haluan kapal. Buih itu melebar menjalur ke belakang, membuncah diputar baling-baling. Lihatlah bekas jalan kami: lurus. Lurus? Betapa.
Kembali, aku naik ke atas.
Kapten tengah membaca koran Utusan Melayu, terbitan Singapura 12 halaman. Dengan tubuh hanya dibalut singlet, ia tampak santai menikmati bacaan. Pantulan cahaya matahari membuat tubuhnya yang berkeringat tampak berkilat. Juga bagai menonjolkan otot dan urat tubuhnya, gempal liat.
Damrah, putra dari selatan Pulau Kalimantan, tampak senang bersama juru mudi. Mengawasi jalannya kapal mungkin tak begitu perlu, tetapi siapa tahu. Ia berpengalaman di bidang ini karena katanya juga pernah hidup sebagai juru mudi.
Waktu yang lima puluh menit itu terasa bagai merayap, merangkak begitu lama. Akhirnya ... tampak juga Lampu I, bagai menyembul dari kedalaman laut. Sebentar lagi... ya, sebentar lagi kami sudah akan keluar dari perairan Singapura, dan masuk ke perairan Indonesia.
Di menit ke-49, aku kembali ke "markas" -- kamar almarhum Pak Sukarmi itu. Seperti tadi, kembali kudapati kawan-kawan telah berada di situ. Kembali kami berdiskusi, mematangkan situasi. "Sekarang pukul 13.35," kataku. "Dua puluh menit lagi, sebelum bergerak, kita kembali berkumpul di sini. Hati-hati...."
Masing-masing kembali keluar. Di luar, angkasa tetap cerah. Matahari tetap terik. Burung-burung tetap berputar-putar seolah di tempat yang sama di angkasa yang itu juga, tetapi pada kenyataannya mereka bergerak mengikuti kami. Dan seperti tadi, ada yang menukik menyambar ikan ke permukaan laut, ada pula yang hinggap seperti beristirahat di tiang-tiang kapal.
Tiang-tiang kapal? Sesuatu berkelebat di kepalaku dan menoleh ke tiang itu: ular. Ah ....
Kupinjam keker ke perwira jaga. Di kejauhan, di sebelah kanan belakang, samar-samar kelihatan Ogan. Kami masih beriringan. Hatiku lega.
Pukul 13.35, kembali kami berkumpul. Setelah memantapkan semua, aku berkata, "Saudara-saudara, Pak Sukarmi telah pergi mendahului kita sebagai mujahid pertama. Seperti kata Pak Dalari kemarin, kita harus lebih berani dari orang tua itu. Dan seperti telah kita sepakati, tak ada jalan lain kecuali meyakinkan Kapten untuk berani berjuang membawa kita ke Port Swettenham."
Hening. "Bismillah, mari kita lakukan."
Menghela napas menegarkan dada, berlima, kami naik ke atas. Kapten baru saja masuk ke kamarnya. Masih pakai singlet, dan Utusan Melayu 12 halaman juga masih terbentang di meja.
"Halo, Kapten."
"Halo, Tuan-tuan." Sejenak, ditatapnya kami berlima. Walau samar, ada sorot heran di matanya. "Silakan masuk."
Kami langkahkan kaki, masuk. Dipersilakannya kami duduk. Dan, di sinilah kami kini: telah berhadap-hadapan dengan Kapten. Sejenak, tak ada suara. Kosong. Sunyi. Memang sukar, tetapi harus kami lakukan.
"Jadi ... Kapten, ke mana kita sekarang?"
"Sudah saya katakan," ia berdiri mengambil gulungan kertas putih di mejanya, "saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya bawahan dan harus patuh pada atasan. Saya dapat perintah untuk kembali, dan sekarang kita berlayar. Ke Jakarta."
Kukuatkan hati. Dan kataku, "Kami berlima adalah pimpinan jemaah. Dan atas nama semua jemaah, Kapten, kami mohon: putarlah haluan ke kanan. Antar dan sampaikan kami ke Port Swettenham."
Si Kapten terkejut, menatap ke mataku. Matanya beralih ke wajah-wajah lain, ke mata-mata lain. Walau tetap berusaha tenang, ia tak berhasil menyembunyikan suaranya yang tiba-tiba gugup. "Mana ... mana mungkin....mana berani saya berbuat begitu."
"Kami tahu Kapten takkan berani, takkan mungkin berbuat begitu. Tetapi keadaan, Kapten. Situasi. Situasilah yang membuat Kapten harus berani. Maafkan kami: putarlah haluan ke kanan."
Kembali sunyi. Pintu kamar sudah tertutup. Mulut-mulut kami, apakah tampak keras dan mengatup?
"I am sorry, Tuan-tuan. Ma...maaf. Saya tak dapat berbuat begitu. Saya tak rela. Saya ... saya seolah dipaksa."
"Tidak, Kapten ... maaf. Kami tak bermaksud memaksa. Kami hanya menyampaikan situasi, mengemukakan keadaan. Di atas kapal Kapten inilah mereka semua: orang-orang yang tertindas, orang-orang yang sabar. Tetapi, kami tak yakin apakah kesabaran mereka tak memiliki batas. Apa jadinya nanti kalau, misalnya, kapal ini terbakar dan kita semua tenggelam? Atau ada yang lemah jiwa, daripada pulang lebih memilih melompat ke laut?"
Si Kapten terdiam. Matanya tak kuasa memandang kami, berpaling. Aku segera menangkap, dan tahu, sebetulnya ia juga tak tega memulangkan kami. Berhari-hari aku bergaul. Ia seorang yang baik. Sangat baik.
"Maafkan kami, Kapten. Ini situasi yang sangat sulit. Kami tahu Kapten keberatan karena tanggung jawab. Tetapi Kapten jangan khawatir, kalau nanti terjadi hal yang tak diinginkan, kami atas nama semua jemaah siap untuk dipersalahkan."
Kapten mengembalikan wajah, menatap ke arah kami. Garis mukanya mengerut, sorot matanya gundah. "Saya ... saya membayangkan saya akan dihukum. Saya akan dipecat ... anak istri saya akan terlantar ...."
Bagian ke 9
"Kapten," aku berdiri, "kalau kemudian Kapten ditahan, saya berjanji, saya bersumpah akan menggantikan." Kubungkukkan tubuh, menyentuh pundaknya meletakkan tangan. "Saya sudah haji tahun lalu, Kapten. Biarlah saya menjadi jaminan, menjadi taruhan. Saya rela turun dan dihukum sebagai penjahat, asalkan 445 jemaah di kapal ini sampai ke tujuan dengan selamat."
Kapten menatapku, tatapan tak berdaya dan seperti pasrah.
"Anda pahlawan besar hari ini, Kapten. Yakinlah, kita sama berada di jalan yang benar. Jalan yang diridai Allah."
Aku yakin, pikirannya sedang berjuang.
Kuatkanlah ia, ya Allah....
Dalam tegang, dalam hening yang bagai digirik hanya oleh helaan napas, tiba-tiba ia berkata, "Baiklah. Saya tak tahu ... saya tak tahu mengapa memutuskan ini. Mungkin karena ... kebahagiaan Anda semua memang lebih besar dari ketakutan saya. Baiklah, baik, saya sampaikan niat dan keinginan Saudara-saudara."
Kami berhasil meyakinkan Kapten! Kami tak percaya kami berhasil meyakinkan Kapten ....
"Tetapi, ada sedikit permintaan saya. Tolong yakinkan juga perwira saya. Karena mungkin mereka akan dapat meringankan beban saya bila kenyataan buruk menyambut di belakang hari."
"Akan kami kerjakan, Kapten. Sementara, Kapten tetap saja dalam kamar bersama empat kawan saya. Kode: ketuk satu dan kemudian tiga berturut-turut."
Lega! Aku melangkah ke luar dengan hati lega! Turun, langsung ke kamar almarhum Pak Sukarmi. Tanpa banyak kata, dua jemaah muda kubawa ke kamar Stiurman I.
Kami dipersilakan masuk. Ia sedang mencuci singlet di wastafel.
"Halo Chief, maaf, kami telah meyakinkan Kapten bahwa kita berlayar ke Port Swettenham." Kuceritakan semua. Ringkas.
Stiurman I tertegun, beberapa saat. Tetapi akhirnya ia berkata, "Oke. Kalau Kapten bertanggung jawab, saya ikut."
Aku salami ia, berterima kasih. Kutinggalkan dua jemaah muda itu bersama Stiurman I dan kembali turun. Sesaat, aku telah kembali naik dengan tiga jemaah. Kuketuk kamar Kepala Kamar Mesin. Selesai pula tanpa hambatan. Kemudian kamar Markonis. Juga selesai. Hanya dalam waktu tak lebih 30 menit, aku telah melangkah ke orang terakhir, Stiurman II.
"Halo Second, atas nama Kapten, haluan kapal harap diubah 90 derajat ke kanan. Kita menuju Port Swettenham."
Ia tercengang, mengerutkan kening. Kuraih tangannya dan kubawa ke kamar Kapten. Tok ... tok-tok-tok!
Kode dikenali dan pintu terbuka. Kapten melihat Stiurman II dan sedera berkata, "Second, ambil peta Malaysia. Putar haluan, kita menuju Port Swettenham!"
"Siap, Kapten!"
Sungguh lega. Sangat lega. Aku melangkah ke arah Kapten, menyalaminya. "Terima kasih, Kapten. Semoga Tuhan memberkahi Anda."
Tak lama setelahnya, melalui corong mikrofon, terdengar suara Kapten ke pelosok kapal:
"Para jemaah dan para ABK, kita saat ini sedang berlayar menuju Port Swettenham. Saya ulangi: Para jemaah dan para ABK, kita saat ini sedang berlayar menuju Port Swettenham. Harap maklum dan terima kasih."
Kapal telah membelok. Mujahid Rupit menggemakan takbir.
Malamnya, aku tenggelam dalam sujud yang khusyuk. Aku bersimpuh di sajadah, tetapi serasa bukan di kapal, juga bukan di laut. Sajadahku bagai memanjang, memanjang. Lurus, jauh, jauh sekali ... ke kesenyapan.
Tiba-tiba aku merasa seolah berada di Raudah. Seperti setahun yang lalu itu, Guru Muqri memegang pundakku dan berkata, “Jika tahun mendatang Tuan diberkahi untuk kembali datang ke Masjidil Rasul, saya akan memberi Tuan tiga cerita. Tiga kisah, sangat pendek, tetapi itu sangat mungkin tentang Tuan atau tentang sesuatu di sekitar Tuan ....”
Tiga cerita. Tiga kisah. Kenapa kini aku mengingatnya?
Kapal Haji Kapal China
Bagian 10
"Mereka di depan," kata Kapten.
Kami lewati Ogan, terus masuk, mengarungi sungai yang tak begitu lebar. Dan... seperempat jam kemudian, Port Swettenham telah membentang di hadapan.
"Itu Cut Nyak Dien! Kapal yang dibeli Pemerintah dengan pajak kita," seseorang berseru. "Lihat, lihat. Mengangkat kayu."
"Ha? Iya," seru yang lain. "Cut Nyak Dien kapal Arafat; kapal kita, kapal haji. Kok ada di sini?"
"Katanya dulu mau beli kapal untuk angkutan haji. Kok sekarang malah mengangkut kayu?"
"Gambela! Gambela!"
"Mana?!"
"Itu, itu! Di sana!"
Para jemaah berebut menjulurkan kepala. Sukacita membayang di wajah mereka. Begitu saja terlompat: "Kapal kita ... Kapal kita ...."
"Bukan! Itu kapal China!" seseorang nyeletuk keras, bagai sengaja. "Kapal kita yang tadi, Cut Nyak Dien kapal haji!"
"Tapi sekarang kapal kayu! Kapal kita Gambela, kapal Cina!"
"Gambela!"
"Gambela! Gambela ...!"
"Kapal Cina! Kapal kita ...!"
Kami terus merapat, mendekat ke Gambela. Riuh lambai dan tempik sorak, Rupit berhenti, labuh jangkar di belakangnya. Ogan melewati kami, terus, labuh jangkar di depan Gambela.
Pukul 13.00 tepat waktu Malaysia Barat, sebuah motor boat melaju ke arah kami. Lima orang berseragam turun dari sana, dan naik ke Rupit memeriksa paspor. Mereka semua juga muda-muda, cekatan, tak banyak omong, dan menyenangkan.
Tak lama kemudian, tongkang-tongkang kecil merapat ke arah kami. Itulah tongkang-tongkang yang disiapkan untuk pemindahan. Kami akan pindah ke Gambela jam-jam ini juga. Dalam beberapa menit, aku telah memegang pengeras suara: memerintahkan rombongan Bima agar bersiap. Menyusul sesudahnya rombongan Lombok dan Jawa Timur.
Saat rombongan Bima mulai bergerak, hujan lebat menyertai kepindahan mereka. Tubuh mereka basah, bawaan (barang-barang) mereka basah, tetapi mereka tetap ceria, penuh semangat dan tampak amat tabah.
Walau hujan, pemindahan memang harus diteruskan. Karena kami diberi waktu hanya lima jam untuk pemindahan kedua kapal. Semua bergerak sigap, cepat dan gegas, memindahkan barang-barang. Berulang-ulang, berulang-ulang tongkang kecil mengambil dan mengambil, memindahkan orang-orang dan barang-barang.
Pemindahan belum selesai, hujan belum berhenti, ketika tiba-tiba sebuah motor boat datang melaju menghampiri kami. Seorang bertubuh besar, tinggi, berdasi, naik ke kapal dengan gerakan tangkas. "Stop pemindahan!" katanya memberi perintah kepada petugas imigrasi di kapal kami.
"Stop pemindahan?! Kenapa ...?" aku bertanya heran.
"Kami hanye menjalankan tugas. Perentah atasan. Sabarlah Encik-encik dan Puan-puan."
Dan di sana, ya Allah, dari perut Gambela ... jemaah kami yang telah berada di dalamnya, di atas Gambela, kembali turun ke tongkang-tongkang ... dibawa kembali ke Rupit …. Dalam kuyup. Dalam hujan.
Aku terpana. Bagai ada palu yang dipukulkan ke ubun-ubunku dan mataku nanar. Aku ... tak kuat melihat wajah-wajah itu. Dan bagai gila, tak tentu tindak, aku berlari naik ke atas! Tubuhku menggelosor di dinding sekoci! Belum pernah aku memiliki perasaan sehancur ini. Sepedih ini! Mungkin pernah ketika keluargaku ditembaki Angkatan Perang Republik Indonesia waktu itu. Tetapi yang ini lain. Tetapi yang ini beda ....
Seseorang menepuk pundakku. Pak Thayeb. Ia mengatakan: Pemerintah! Pemerintah Indonesia tetap menghendaki kami pulang.
Aku menatap matanya. Dalam mata itu, kudapatkan dirinya yang juga basah. Kuyup. Masai ....
Sampai jauh malam, tak kumiliki bahasa untuk menyabarkan jemaah. Di atas sajadah, mungkin aku tampak serupa onggokan lusuh. Usang. Dan aneh, aku bagai merasa kembali berada di sana: Raudah. Dan wajah Guru Muqri membayang, kembali mengingatkanku tentang cerita itu.
"Tiga cerita, tiga kisah, tetapi itu sangat mungkin tentang Tuan atau tentang sesuatu di sekitar Tuan ...."
Tentangku atau sesuatu di sekitarku. Tidakkah di antaranya adalah tentang aku dan ... negaraku? Aku terkejut dan merasa aneh menyadari pikiran itu. Ataukah karena aku mengingat pada saat dan tepat ketika aku selalu (dan tak habis pikir) tentangnya? Tentang mereka. Tentang ... ya, Indonesia. Tak percaya kenapa kami harus dihalangi. Tak percaya kenapa persoalan "sepele" ini disikapi begitu "besar". Apakah, di kepala mereka, hanya ada kata pengacau? Kata pemberontak?
27 Januari 1970
Tetapi, sungguh tak kuduga, persoalan ini tiba-tiba selesai. Bagai begitu saja.
Subuh aku terbangun, Pak Alwi langsung menyambut: "Kabar gembira, Pak Janir! Pagi ini kita pindah!"
Pandanganku masih nanar, belum sepenuhnya sadar. "Pindah?"
"Ya! Begitulah berita tadi malam, tetapi kami tak mau membangunkan Pak Janir. Bapak kelihatan amat letih, capek, dan sangat nyenyak."
Aku bagai tak percaya. "Siapa yang membawa berita?"
"Petugas imigrasi, tentu."
Oh, tak bisa kuceritakan bagaimana perasaanku. Aku bagai hidup di hari lain dan bahkan berpikir peristiwa kemarin mungkin sebenarnya tak pernah ada atau barangkali cuma mimpi. Bergegas aku mandi, cepat-cepat sarapan, dan menjumpai Kapten.
"Jadi, Kapten, kabar baik apa sekarang?"
"Tuan boleh umumkan bahwa sesudah sarapan pagi segenap jemaah benar-benar sudah dapat pindah ke Gambela."
"Lho, kenapa saya yang mengumumkan? Dan eh, kenapa Kapten panggil saya tuan?"
"Sebab Tuan tampaknya lebih pantas jadi kapten saya. Dan saya sebaiknya jadi pembantu Tuan yang setia."
Bagian 11
KAMI sama tertawa dan berjalan menuju mikrofon.
"Para jemaah sekalian, insya Allah pagi ini kita bakal pindah ke
Gambela. Harap bersiap-siap. Dan marilah kita berdoa semoga tak lagi ada rintangan."
Dari arah dermaga, sebuah motor boat meluncur menuju kami. Petugas imigrasi dan beberapa pegawai Kawalan Perjalanan. Ah, betapa situasinya kini sudah berbeda. Kami bersalaman, tertawa-tawa. "Selamat jalan, Encik Janir. Mudah-mudahan selamat sampai tujuan."
Tongkang-tongkang pun telah mulai berdatangan. Dan Pak Thayeb, bersama pembantunya jemaah-jemaah muda, cepat mengatur dan memanggil nama jemaah sesuai dengan rombongan. Tak lebih dua jam, semuanya tenggelam dan lenyap ke perut Gambela.
Rupit selesai. Dua jam kemudian, Ogan juga selesai. Berderum-derum aku kembali ke Rupit dengan motor boat.
Rupit yang selama ini ramai dan sesak oleh saudara-saudaraku dari Bima, Lombok, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan, kini telah lengang. Pemandangan yang sungguh ganjil, dan tampak amat lain. Aku berjalan di kapal yang lapang-sepi, melangkah menuju ke sesosok tubuh. "Kapten," kutepuk pundaknya, "inilah waktuku, menepati janji."
Si Kapten mengernyitkan dahi. "Apa maksud Saudara?"
Tanganku kusilangkan di pergelangan. Kusorongkan ke hadapannya.
"Eh, o, tidak. Saya takkan berbuat begitu. Saudara ... berani betul berkorban untuk kepentingan jemaah. Saya hormat pada Saudara. Saya salut."
Kami berpelukan tiba-tiba. Air mata gembira (atau air mata haru?) sama mengambang di rongga mata.
Awak kapal juga terharu dan mereka menyalamiku satu persatu. Sungguh aku sangat berterima kasih kepada mereka. Mereka telah menyediakan segalanya, menyerahkan segalanya, untuk kami yang entah siapa dan mungkin takkan pernah lagi berjumpa.
Dengan perasaan kehilangan yang sangat, aku turun, kembali ke motor boat. Kapten, dengan beberapa perwira serta ABK, mengantarku ke pinggir kapal. Motor boat kecil itu kembali menderum, membawaku ke Gambela. Meninggalkan Rupit dengan kaptennya yang masih melambai, walau aku telah sangat jauh dari mereka.
Gambela. Sekarang kami jadi warga Gambela. Pukul 19.00, Gambela bongkar jangkar. Bergeroncang. Bergemuruh. Dan pelan-pelan, tubuh besarnya mulai bergerak.
Matahari telah terbenam, bersamaan dengan tenggelamnya Port Swettenham. Di dalam kapal, dokter kembali memeriksa Ahmad, jemaah muda dari Bima yang sakit sejak Singapura. Seperti beberapa hari lalu, Dokter Rudy kembali menyarankan agar Ahmad turun ke darat menjalani operasi cepat. Tetapi seperti kemarin itu pula Ahmad kembali menjawab: "Biar saya mati di laut!"
"Saya tak mau turun. Saya mau pergi haji. Biar saya mati di laut! Allah yang menentukan ...."
Di bawah kegelapan malam menyongsong rembulan pada 19 hari Zulkaedah 1389 H, kami bertolak dengan mengucapkan Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Ia menggeliat, merayap keluar dari kegelapan. Ia menggeliat merayap ke luar dari tiga kitab, saat kalam pertama dibentangkan. Cahaya. Cahaya. Matanya silau, tetapi ia adalah api. Ia merayap, terus merayap; menggeliat merayap dari dalam gua, dari api dendam dalam dirinya. Wahai tanah, aku melata di punggungmu, di atas kepalamu. Aku akan mematukmu, membelitmu seperti yang dijanjikan Tuhanmu, memperlihatkan bahwa apiku lebih benderang dari kitab-Mu. Saat kalian tidur, di bawah bantal kalian ia bergelung. Karena ia berada dalam kitab-Mu, yang kalian baca dalam hari-hari panjang tidur dan bangun tidur dan bangun melelahkan.
Hari-hari yang ia janjikan. Hari-hari yang Ia janjikan. Hari-hari yang kujanjikan.
Aku, sang ular ....
Lepau Mak Lian
Tentu bukan hanya rumah di Pulau Kecil itu satu-satunya rumah bulek di kampung mereka. Ada beberapa, dan salah satunya justru tegak di samping rumah gadang ibunya. Tetapi tidak pula tepat disebut rumah bulek, karena bangunan itu berdiri menempel bagai menyambung di bagian ujung dekat dapur rumah gadang. Di situlah tinggal Si Datuk, bersama seorang lelaki adik ibunya yang lazim ia panggil Mamak.
Dalam tata adat masyarakat kampungnya yang menganut sistem matrilineal, memang, rumah gadang hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan (bersama suami kalau sudah bersuami), bayi, dan kanak-kanak. Karena Si Datuk, entah kenapa, sampai di usia yang telah begitu tua belum beristri, maka entah sejak kapan dibangunlah rumah bulek yang ganjil itu. Dan, seiring dengan usia Nuan (demikian nama Si Mamak, adik lelaki ibu satu-satunya) yang bertambah dewasa, maka Mak Nuan pun kemudian juga turun dari rumah gadang, mengikuti Si Datuk "pindah" ke rumah bulek.
Ia sendiri, walau telah dengan keras berusaha mengingat, tak pernah merasa pasti kapan tepatnya mengikuti jejak Mak Nuan turun dari rumah gadang. Mungkin memang karena "kepindahannya" tak serta-merta suatu ketika, melainkan secara bertahap, berangsur-angsur, yang dimulai dengan dongeng-dongeng yang meluncur dari mulut Si Datuk: surga, kerajaan Allah, nabi-nabi, ragam mukjizat. Dongeng-dongeng yang membuat ia telah mulai "pindah" dan tidur di rumah bulek bahkan sebelum dimasukkan ke Sekolah Rakyat. Dongeng-dongeng (selain lidi cambuk, tentu) yang membuat ia kemudian selalu teringat akan Si Datuk saat ia benar-benar telah "pindah". Dongeng-dongeng yang....ah, itukah yang membuat ia membayangkan ilalang yang rimbun menyibak di sepanjang kiri-kanan jalan tanah itu bagai lautan yang dibelah oleh tongkat Musa?
Bagian 12
ANEH bahwa ia juga tak ingat kapan tepatnya Si Datuk meninggal. Mungkin saat ia telah kelas dua, atau kelas tiga. Bayangan yang pasti di kepalanya hanyalah bahwa mereka tak pernah tinggal bertiga di rumah bulek itu. Yang ia ingat, saat ia telah berada di rumah bulek, dirinya dan Mak Nuan tak ubahnya Mak Nuan dan Datuk ketika Si Datuk masih hidup. Bedanya, selain usia, tentulah kegiatan sehari-hari. Kalau dulu di rumah bulek itu hidup seorang lelaki tua berkesan nyinyir yang lebih banyak di rumah dan seorang pemuda penggembala kerbau berkesan ceria, maka sesudahnya yang hidup di sana adalah seorang pemuda kusir pedati (aduh, ia juga tak ingat kapan Mak Nuan dibelikan pedati) yang selalu gembira dan seorang lelaki kanak-kanak yang, entahlah, mungkin dikenal nakal tapi "makan sekolahan".
Berbeda dari Datuk, Mak Nuan memang membebaskannya dari rasa takut dan cambuk. Tetapi, hal yang kemudian membuat ia juga terbeban, adalah ajakan (tepatnya: keharusan) mengikuti Si Mamak yang hampir tiap malam pergi ke pengajian. Bukan hanya di surau kampung mereka saja, tetapi juga di surau-surau kampung lain, ke tempat angku-angku, ke tempat buya-buya, yang di malam-malam tertentu menyelenggarakan halaqah, wirid....pengajian terbuka.
Dalam kesal, ia kadang heran: kenapa (dan bagaimana) Mak Nuan bisa kenal (dan dikenal oleh) begitu banyak angku, buya, guru, di banyak kampung, surau, perguruan, dan pengajian? Keheranan yang mengantarkannya pada kesadaran betapa Si Mamak, dengan bawaannya yang gembira, luar biasa mudah bergaul dan disenangi berbagai kalangan. Pekerjaan Si Mamak sebagai kusir pedati yang sering diminta mengantar barang ke mana-mana, agaknya, tidak bisa tidak, juga membuat Mak Nuan punya kenalan di banyak tempat. Bila ia berpapasan atau kebetulan berada di tengah orang-orang dewasa, hampir selalu, akan beginilah sapaan yang ia terima: "Oi Nie, mana Si Nuan?" Oi dalam bahasa kampungnya kira-kira sama dengan hai. Sedangkan Nie tentu saja adalah namanya sendiri, yang berasal dari Nir -- Janir. (Di kampungnya, tak ada orang yang dipanggil persis sebagaimana namanya. Idris akan dipanggil Dirih, Aisyah akan dipanggil Icah, Syarifuddin akan dipanggil Pudin, berubah menurut bagaimana dan di bagian mana tekanan suara jatuh. Nuan -- panggilan Si Mamak, berasal dari nama Anwar.)
Bagaimanapun, jauh di dasar hati, ada perasaan senang mendapati kenyataan mamak-nya sangat dikenal. Dan hal paling mengesankan tentang itu adalah bahwa, dibanding teman-teman sebaya, ia akan lebih cepat dikenal di kalangan orang-orang dewasa. Dan karena tempat berkumpul orang-orang dewasa adalah lepau, maka ia juga dikenal di lepau-lepau. Lepau, hmm......
Saat dimasukkan ke Sekolah Rakyat, pagi, bila berangkat ke sekolah, turun dari rumah, ia tak lagi belok kanan ketika sampai di bibir jalan. Jika di hari-hari sebelumnya kakinya hanya menapak ke bagian jalan yang menurun lenyap ke tikungan, maka di hari-hari sesudahnya, setiap pagi, ia belok ke kiri, menyusuri bagian jalan yang ujungnya bertumbuk dengan jalan besar berbebatuan. Memang, ke arah situlah sekolahnya. Dan di jalan besar berbebatu itu, ia akan belok kiri lagi, terus, sekitar satu jam berjalan kaki, sampailah. Tetapi, yang ada di lipatan benaknya, bukan sekolah. Melainkan sebuah lepau, kira-kira dua ratus meter dari simpang jalan besar itu, ke arah kanan. Lepau Mak Lian.
Apa yang menyenangkannya dari sebuah lepau, adalah karena di sana ia mengenal berbagai kata, bermacam istilah, yang berkaitan dengan kehidupan orang dewasa. Mulai dari kata-kata berpantun berpetitih, kata-kata sindiran mencemooh, sampai ke kata-kata asing jorok yang akan cepat tertangkap oleh benaknya. Dan lepau yang tak pernah lengang, bahkan pada jam-jam orang-orang dewasa berada di sawah dan ladang, adalah lepau Mak Lian itu. Akan ada saja, tak kurang dari sepuluh orang entah siapa, berbaku cakap tertawa-tawa. Dan ia, dengan berbagai cara, akan menguping -- berlama-lama di sana. Merekam. Merekam.....
Hasil rekaman itulah yang dengan bangga akan ia bawa ke teman-temannya. Tak kalah bangga juga, adalah menceritakan bagaimana cara atau siasat ia bisa berada dalam lepau Mak Lian, lelaki tua tinggi besar (bila berdiri, tubuh Mak Lian menjulang dengan kepala seolah menjangkau menyentuh loteng lepau) itu lama-lama. Ia ingat, begitu banyak siasatnya. Tetapi, siasat yang segera terbentang, yang cepat terhampar ulang, adalah siasat ketan-goreng pisang. Begini kira-kira urutan(peristiwa)-nya:
Ia, dengan pura-pura punya uang, akan masuk ke lepau Mak Lian dan melangkah ke salah satu meja. Ada beberapa meja dalam lepau itu, dan meja yang ia tuju tentulah meja tempat di mana makanan ringan dan kue-kue tradisional diletakkan. Ia akan merogoh-rogoh saku, dan setelah yakin ada dua-tiga entah siapa dari orang-orang dewasa yang berbaku tawa itu memerhatikannya, ia pun segera menyempurnakan akting: memasang wajah bingung, sedikit panik, tiba-tiba sedih, lalu mengangkat kepala menatap putus asa ke arah Mak Lian. Sejenak, ia akan menahan napas 45 berdebar 46
"Oi Nie, waang (kau) kehilangan uang?!"
Nah!
Pelan, ia akan menoleh ke sumber suara. Dengan mempertahankan wajahnya yang pucat pias, ia mengangguk.
"Waang mau beli apa?!"
"Ke-ketan...."
Si sumber suara, salah seorang dari orang-orang dewasa itu, akan berkata kepada Mak Lian, "Mak, beri ia ketan. Dengan goreng pisang sekalian." Lalu kepadanya, "Sini waang duduk. Mana Si Nuan?"
Begitulah kemudian ia akan duduk di dalam lepau, dekat orang-orang dewasa, menyuap ketan-goreng pisangnya (tepatnya tentu saja menguping) berlama-lama. Tetapi tentu, agar tak ada yang curiga, untuk memberi kesan ia memang doyan ketan, ia adakan waktu di mana ia betul-betul membeli, dengan uang sendiri (betapa susah, uang jajan dari Ibu selalu payah). Dan itu, artinya juga, ia akan rugi lipat dua. Pertama, soal uangnya. Kedua, ia takkan dapat duduk di sana. Kecuali dalam keadaan "darurat" (seperti siasat yang ia rencanakan), kanak-kanak jajan-duduk di lepau benar-benar bukan kewajaran.
Bagian 13
Tetapi, seperti siasat yang lain, siasat ketan-goreng pisang pun punya batas masa. Tetapi pula, tak seperti siasat lain yang tak lagi dipakainya karena ketahuan, siasat ini justru ia sendiri yang akhirnya menghentikan. Karena tak ketahuan? Ah, tak. Tidak. Ada yang tahu, yang mungkin tahu …. Bahkan lebih “menghukum”. Lebih memalukan. Dan, begini kira-kira kejadiannya:
Ia, entah memang karena tololnya, sering tak menyadari (ataukah memang karena tak menganggap?) bahwa selain Mak Lian dan orang-orang dewasa pengunjung lepau itu, ada seorang lain, perempuan, tua juga, bertubuh kecil, sangat kecil, seolah ada bagian dalam dirinya mengisap badannya sedemikian rupa hingga menyusut. Itulah ia Ayai, istri Mak Lian. Betapa aneh, ganjil, terutama bila menyadari lalu membandingkan tubuh perempuan tua itu dengan suaminya yang menjulang, tonjang tinggi panjang. Dan, matanya. Matanya yang juga kecil, sedemikian kecil, sehingga tak ubahnya hanya bagai bintilan kelabu yang mengelipat terdorong ke luar dari semacam gelambir yang mengeriput. Seperti mata, ia lupa entah mata binatang melata apa, yang entah memang pernah tampak olehnya atau hanya khayalan saja. Dengan mata itulah.
Dengan mata itulah ia bersitatap, tak sengaja, ketika suatu kali 'akting'-nya rampung. Bersitatap yang amat-sangat sekilas, tetapi yang membuat dadanya serta-merta berdebar. Mata itu … seperti tahu. Mata itu tidak. Ia buat dirinya tak yakin, berusaha melupakan. Ia konsentrasikan diri ke suapan ketan (ke pengupingan), tetapi tak satu kata pun tertangkap masuk ke dalam rekaman.
Lagi, ia buat dirinya tak yakin dengan anggapan itu hanya kebetulan. Maka entah hari keberapa, siasat ketan-goreng pisang itu kembali ia lakukan. Tetapi, lagi, hal itu terjadi. Mata itu … seperti tahu. Mata itu apakah telah lama tahu?
Maka, ia tak lagi berani.
Tak lagi.
Empat Belas Hari, Empat Belas Abad
28 Januari 1970
Tadi malam, aku tidur bagai tak tahu apa-apa. Tetapi rupanya bukan hanya aku. Hampir seluruh jemaah, baik dari Rupit maupun Ogan, tertidur pulas: dalam kegembiraan dan kepayahan.
Pagi ini, kubayangkan, tentulah kapal kami tengah setentang dengan Belawan. Agak ke bawahnya, di seberang, di bagian pantai sebelah barat, tentu saja adalah pelabuhan Teluk Bayur. Dan ... tak tertahan, ingatan itu kembali meringkus!
Dari Teluk Bayur, dengan perjalanan naik bis 5 atau 6 jam ke arah timur yang mendaki (kami biasa menyebutnya ke arah darek, ke jantung Alam Minangkabau), di situlah kampungku. Saat “usai” PRRI itu, saat aku memutuskan meninggalkan kampung menuju Padang melewati wilayah pos-pos pengawasan tentara APRI, jarak ke Teluk Bayur tentu saja harus kutempuh berhari-hari. Beruntung kalau kebetulan aku bertemu dengan iring-iringan pedati. Kusir-kusirnya yang baik hati, biasanya tak tega menolak permohonan siapa pun untuk menumpang ke daerah atau kota berikut.
Meski PRRI telah dinyatakan kalah, bukan berarti iring-iringan pedati yang ditarik oleh seekor kerbau (dan karenanya jalannya sangat lamban) itu bisa melewati pos-pos dengan mudah. Hanya karena mereka membawa banyak kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh kota-kota pesisir, kusir-kusir itu akhirnya selalu diizinkan lewat. Suatu hal yang dalam pikiran remajaku waktu itu, bagaimanapun, sebenarnya mengherankan. Karena di waktu-waktu sebelumnya, saat perang masih berkecamuk, kusir pedati adalah sosok pribumi paling dicurigai oleh tentara pusat. Takkan kulupa itu. Tak akan bisa kulupa.
Tak bisa kulupa ... karena mamak-ku, Mak Nuan, adik lelaki Ibu satu-satunya, adalah salah seorang dari mereka – kusir itu. Dan menurutku, pekerjaan Mak Nuan sebagai kusirlah yang secara tak langsung membuat seluruh keluargaku habis! Tamat! Oh, kenapa aku kembali mengingat semua? Kusir, kusir-kusir pedati, kenapa waktu itu banyak di antara kusir-kusir yang jadi penghubung? Yang menjembatani pesan, alat komunikasi, antara tentara PRRI yang ada di dalam dan di luar kota? Oh Mak Nuan. Oh Ibu, Ayah, Kakak .... aku merasa tiba-tiba mataku panas. Tidak. Aku telah melupakan mereka. Aku telah merelakan mereka! Kutarik napas, dan mengembalikan pikiran ke hari ini. Ke tempat ini. Ke kapal ini!
Acara pertama hari ini ... rapat tim pimpinan rombongan haji mujahid Gambela. Aku kembali terpilih untuk memimpin. Sangat sungkan sebenarnya, karena akulah yang paling muda. Dan kalau dihitung pengalaman berhaji, jelas aku kalah dari Pak Dalari Umar yang telah dipanggil-Nya tiga kali.
Selain aku dan Pak Haji Dalari Umar sebagai wakil, jemaah lain yang juga mendapat kepercayaan adalah Roosdi AS dari keraton Solo, Pak Subli Ahmad dari Banjarmasin, Mawardi Noor dari Medan, M Thayeb Abdullah dan Siddik Abu Bakar dari Bima, Darmansyah dari Padang (Ah ... apakah Pak Darmansyah tahu bahwa aku adalah orang kampungnya?), Mahmud dari Lombok, Pak Ki Agus Alwi, Syafri Musa, Pak Abdul Manaf, dr Rudy Syarief, HM Said Ali, Pak Zukroni dan istrinya Ibu Zukroni.
Semua yang telah terjadi, dan kenyataan bahwa kami telah berada di atas Gambela, mestinya membuatku lega. Tetapi kenapa ingatan tentang kampung, atau ingatan tentang entah apa dalam diriku (aneh, aku tak bisa mengenalinya), tiba-tiba bagai naik menggelisahkanku. Guru Muqri. Guru Muqri? Kenapa entah dalam beberapa hari ini aku tiba-tiba juga bagai mengingatnya. Tiga cerita, tiga kisah ... kenapa pula pikiranku bagai terganggu olehnya?
Bagian 14
Selebriti memang suka hal unik. Lihat saja rencana perkawinan aktris Cameron Diaz dengan penyanyi pop Justin Timberlake. Diaz, yang belakangan populer lewat film Charlie's Angels, sudah mantap untuk tidak mengenakan busana pengantin modern jika maju ke pelaminan. Dia malah ingin tampil dengan pakaian orang Indian Amerika, lengkap berikut sepatu mokasin warna putih.
Seperti diungkap situs Annanova.com kemarin, wanita berusia 32 tahun itu memang ada turunan indiannya. Ibunya, Billie, berasal dari suku Indian Amerika Serikat atau istilah formalnya Native Indian. Busana pengantin tersebut lantas dipilihnya sebagai penghormatan terhadap sang ibunda.
Diaz sudah berdiskusi dengan sahabat dekatnya sekaligus perancang busana David Jet Black Horse. Apa lagi topiknya kalau bukan soal desain baju pengantin dan pernik-perniknya. David Jet malah telah terbang ke Los Angeles tempat Diaz bermukim untuk pembicaraan lebih jauh.
"Menurut saya, Diaz akan tampil cantik dengan gaun putih dari bahan kulit serta mengenakan gelang. Ditambah sepatu mokasin warna putih untuk menambah keunikan. Memang busana mirip seperti itu sudah dimilikinya, tetapi yang ini akan lebih bagus dan berbeda," ungkap David Jet.
Justin Timberlake sendiri dikabarkan telah datang ke orang tua Diaz untuk melamar. Sebelumnya, pemuda berusia 23 tahun itu sempat digosipkan berhubungan dengan seorang fotomodel cantik dari Inggris. Namun, Justin membantah kabar perselingkuhan tersebut.
Diaz mulai dikenal publik antara lain lewat aktingnya dalam film komedi There's Something About Mary di tahun 1998. Setelah sempat berpacaran dengan aktor Jared Leto, Diaz kemudian pindah ke pelukan Justin yang baru berpisah dengan penyanyi Britney Spears.
Keduanya sempat putus berkali-kali sebelum akhirnya mereka sepakat melangkah lebih jauh pada acara tahun baru 2005. Diaz sendiri sebelumnya pernah menyatakan tidak ingin menikah, tetapi belakangan dibantahnya sendiri. (war/B-1)
Bagian 15
Menjadi Berita
Lihatlah mataku, matahari bulanmu. Siang malam dalam genggaman. Lihatlah lidahku, duri bercabang dalam kebunmu. Nyanyian tunas kepergian. Senandung benih kepulangan. Ayolah tepuk dadamu, penguasa. Ia ada di ujung jubahmu. Dalam tiga kitab di tiga zaman, menarikan dendam dan kebencian. Ayolah panggul aku, penari. Adakah yang lebih menggairahkan, selain ciumanku selain belitanku? Alangkah dungu.
Dan si dungu, bersama ular itu, datang kepadamu. Ia menyamar jadi pharao, jadi kaisar, jadi ratu, jadi dukun, dan kepala suku dalam tahun-tahun baik bulan-bulan baik. Di hari-hari yang ditentukan, ia menyelusup ke dalam dongeng, menjelma jadi mitos, hidup bagai dalam harapan dan impian. Harapan yang membuat orang-orang dewasa bagai menemukan sesuatu yang pernah hilang di masa lalu. Impian yang membuat kanak-kanak bagai menemukan sesuatu yang sangat mereka inginkan di masa depan. Adakah yang lebih buruk dari tipuan?
Sejak kitab itu, tiga ribu tahun lalu. Dua ribu tahun lalu. Lima ratus tahun lalu.
Terus, ia mendesis. Menjalar.
9 Februari 1970, Siang
Ada pengumuman dari darat kami belum bisa merapat, dan harus antre menunggu dua puluh empat jam. Kapal haji dari Filipina, Malaysia, dan satu lagi dari Afrika, lebih dahulu datang dari kami. Akan tetapi, tak sampai satu jam kemudian, terjadi hal yang mencengangkan.
Dua buah motor boat menderum meluncur mendekati Gambela. Motor boat yang di depan berisi beberapa petugas imigrasi Arab Saudi dengan pakaian dinas seragam biru lengkap berjas. Sedangkan motor boat di belakang berisikan orang-orang yang tak kami kenal. Mereka berpakaian putih-putih panjang, bertutup kepala egal, pakaian khas tradisi Saudi. Siapakah mereka?
"Mereka orang-orang Kerajaan ...," entah siapa dan entah dari mana celetukan itu berasal. Dan celetukan itu melompat dari satu jemaah ke lain jemaah. Mereka orang Kerajaan. Mereka orang Kerajaan.
Orang Kerajaan? Ada urusan apa mereka ke kapal kami? Dadaku berdebar. Tetapi, segera menjadi lega ketika tahu. Dengan senyum, dan dengan air muka yang sangat ramah, mereka menyalam-nyalami kami, dan berkata: ''Kami utusan Raja, bertugas khusus mengucapkan ahlan wasahlan.''
Sungguh menggembirakan. Sungguh istimewa. Bahkan, kami juga dipersilakan untuk segera merapat, mendahului tiga kapal terdahulu. Tetapi ... kenapa?
''Raja kami memperoleh kabar dan mendengar berita tentang pengalaman Saudara-saudara di perjalanan. Beliau sangat bersimpati.''
Memperoleh kabar? Jadi ... kami diberitakan? Kami sesama jemaah, aku, Pak Thayeb, Pak Roosdi, Pak Dalari Umar berpandang-pandangan. Tak menyangka. Sangat tak menyangka. Gumam Pak Thayeb, ''Tuhan ... selalu Kauberikan satu atau lain hal sebagai balasan.''
Dokter pelabuhan, dalam waktu singkat, menyelesaikan tugasnya. Begitu pula petugas imigrasi yang merasa lucu, tertawa-tawa, membaca paspor kami. Sungguh lain. Demikian beda. Karena kami memang bukan pemberontak atau orang-orang jahat yang berkhianat. Melainkan tamu mereka, tamu Allah, yang akan melaksanakan perintah-Nya.
Gambela merapat perlahan-lahan. Dada kami dag-dig-dug. Jemaah dari beberapa kapal lain (yang juga belum turun, tentu), tak disangka pula, melambai-lambai bagai mengelu-elukan, mengucapkan selamat kepada kami ketika lewat. Kudengar lagi gumam Pak Thayeb, ''Begitulah seharusnya sesama hamba Allah, saling mencintai dan menyayangi.''
Sebentar kemudian, kapal kami telah merapat ke dermaga. Kapal Kualalumpur kini di seberang kami.
"Kapal Kualalumpur membawa jemaah haji Malaysia."
"Kapal Filipina membawa jemaah haji Filipina."
"Begitu pula kapal Afrika."
"Tetapi, jemaah haji Indonesia ... dibawa oleh kapal Singapura."
Tetapi itu tak penting lagi. Kami telah sampai kini. Sibuk sekali dermaga. Melayani kapal para jemaah. Sungguh mereka sangat tahu dengan tugas. Mengangkat barang kami tanpa diminta, kemudian membawanya ke truk.
Melalui tangga yang panjang, kami turun satu per satu. Hanya beberapa langkah jarak ujung tangga dengan bus. Bus yang entah telah sejak kapan menunggu kami, siap mengantarkan kami ke Babus Sual. Hanya sebentar, kami telah meluncur di aspal licin, menyeberangi jembatan yang cukup panjang di atas laut. Tak lama, belum puas mata memandang, kami pun sampai di Babus Sual: Pintu Pertanyaan.
Para Syekh, bertopi putih dengan pakaian yang juga putih-putih, panjang dan ber-egal, bertanya dengan ramah, "Siapa syekh Tuan?"
Satu persatu paspor kami berpindah tangan. Selesai dengan beberapa pertanyaan, kami dipersilakan ke ruang tunggu menunggu saudara-saudara kami yang lain. Karena barang-barang harus diperiksa, bawaan kami dilewatkan melalui tempat terpisah. Tetapi, setelah lama menunggu, setelah bus lain juga menunggu kami, barang-barang kami belum dikembalikan. Hati kami bertanya-tanya, kenapa?
Bergegas aku melangkah, menemui seorang petugas. Ketika kutanyakan, jawabnya, "Maaf, Tuan-tuan. Bawaan Tuan telah kami antarkan langsung ke Madinatul Hujajaj."
"Bukankah barang-barang kami tengah diperiksa?"
"Tuan-tuan adalah tamu Raja dan tamu Allah. Adakah sepantasnya kami curiga?"
Sungguh mengagumkan. Aku tak percaya. Pak Dalari geleng-geleng kepala.
Bagian 16
SUNGGUH mengagumkan. Aku tak percaya. Pak Dalari geleng-geleng kepala.
Kembali kami meluncur.
Dari sini, bila memandang ke pelabuhan, Gambela tampak kecil. Kian kecil, semakin kecil, dan kami pun kemudian sampai di sebuah gedung. Gedung besar, bertingkat dua, halamannya luas. Inilah Madinatul Hujjaj – Asrama Haji.
Di sinilah kami menginap malam ini.
Malam pertama di Arab Saudi.
Kuempaskan badan ke kasur. Menggeliat dan telentang. Sungguh nyaman. Kuganjalkan tangan ke belakang kepala. Benak dan mataku masih menerawang tak percaya. Surabaya, Rupit, dilepas oleh hujan lebat, badai, terkatung-katung di Singapura, ke Malaysia, turun ke tongkang, kuyup, naik ke Gambela, turun lagi, kembali ke Rupit, menangis ... malam menjelang turun bulan, 14 hari di laut ... tiba-tiba aku tersentak, dibangunkan oleh seorang mahasiswa.
"Pak Janir ditunggu oleh Bapak-bapak lain, di bawah. Mobil penjemput telah datang."
"Mobil penjemput?"
"Kita diundang Raja."
"Diundang?" Aku terkejut. "Ke mana?"
"Ke vila beliau."
"Malam ini?"
"Ya malam ini, Pak Janir. Sekarang juga. Dan Bapak telah ditunggu ...."
"Tetapi saya dalam pakaian begini."
"Inilah pakaian yang paling suci, paling mulia di Tanah Suci."
"Baik ... baiklah," aku masih bingung. "Saya berwudu sebentar."
Beberapa saat kemudian, delapan Impala model terakhir membawa kami -- sepuluh pemimpin rombongan dan lima belas mahasiswa Indonesia di Arab Saudi -- meluncur, di atas jalan raya mulus kota Jeddah. O, telah banyak berubah.
Tahun lalu, saat aku berkesempatan mengitari kota Jeddah, gedung di kaki bukit itu belum ada, bangunan di sebelah sana juga belum ada. Oh, benar-benar telah berubah. Pencakar-pencakar langit, hotel-hotel megah, lampu-lampu raksasa warna-warni, sangat jelas kuingat, tahun lalu masih bagian dari padang pasir. Tetapi sekarang, tetapi malam ini, semuanya bagai disembulkan dari perut gurun dari perut bumi.
Memang gurun, memang padang pasir (dan bukit-bukit kecil) saja semua lokasi ini sebelumnya. Mereka telah menyulapnya jadi metropolitan, tempat Impala seperti semut di persimpangan jalan.
Mahasiswa yang duduk di sebelahku, yang dari tadi tampak seperti tak sabar, mulai bertanya, “Pak Janir, bagaimana sebetulnya kisah di perjalanan? Kami di sini merasa khawatir setelah membaca koran.”
Bagaimana aku harus mengisahkan? Tiba-tiba aku tak mampu, tak tahu bagaimana harus menceritakan.
"Ingin sekali kami mendengar cerita dari Bapak-bapak. Hebat betul tampaknya," kata yang lain dengan canda.
Senyum itu, canda itu, membuatku tiba-tiba mendapatkan jawab. "Sabar, nanti saya ceritakan. Setelah perut kita kenyang dijamu Raja Faisal."
"Waduh, Pak Janir jual mahal."
"Memang mahal," kata Pak Dalari sambil tertawa. "Tetapi, kalau sudah disuguhi nasi briani dengan minyak samin, insya Allah kalian akan mendengar cerita yang hebat."
Dan kami tertawa bersama-sama. Dan kami berbelok memutari tembok tinggi. Dan ... itulah istana Raja. "Kita terus ke vilanya," kata seorang mahasiswa.
Impala terus meluncur. Ummi Kultsum (betulkah? Aku tak begitu tahu warna suaranya) terus meningkah dengan lagunya ... aruh li min ... tetapi mahasiswa di sebelahku masih bertanya.
"Bagaimana pendapat Pak Janir tentang Husami yang berhasil menolong orang-orang pergi haji dengan ongkos murah, dan bagaimana menurut Bapak tentang sikap negara?"
Pertanyaannya -- seperti wartawan saja. Aku tak suka. "Wait and see. Tanya saja sama Syafruddin!" kataku dengan gaya seorang menteri dikerubuti wartawan. Dan semua tergelak. Tertawa-tawa. Apakah memang kelihatan lucu?
Keindahan
10 Februari 1970, Pagi
Setelah hampir sebulan, inilah salat Subuh pertama di daratan. Dari masjid sebelah gedung, azan Subuh mengalun -- sangat indah. Dan kami bergegas mengatur saf.
Oleng-oleng kapal masih terasa. Tetapi tentu, ini takkan lama.
Selesai Subuh, aku berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain, mengecek para jemaah. Semua kelihatan sehat, segar bugar. Di tubuh mereka telah tak tampak rasa payah, telah lenyap rasa gundah. Seluruh wajah memperlihatkan kesan seolah kemenangan telah diraih.
Sesudah berbelanja kain ihram, ikat pinggang, payung, dan lain-lain kebutuhan yang teringat belakangan, kami hanya akan beristirahat sepanjang hari.
Matahari naik dengan bersih. Terang. Seiring dengan merambatnya waktu, Madinatul Hujjaj pun menjelma semakin ramai.
Saudara-saudara kami dari Filipina, kini telah berdatangan. Warna kulit mereka, bentuk hidung mereka, raut muka mereka, besar dan tinggi mereka, sama dengan kami. Kalau bahasa kami juga sama, tanda-tanda seperti apakah yang membuat kami bisa tampak jadi berbeda?
Tetapi di sini, apa pun perbedaan, memang telah tak penting. Walau bahasa tak sama, kami toh bisa berkenalan dengan mereka. Minoritas Islam dari Filipina, bersalam-salaman saling sapa, tertawa-tawa, bersama saudara mereka mayoritas Islam dari Indonesia.
Minoritas - mayoritas (hal yang kubenci!). "Tidakkah lucu?" kata Pak Alwi. "Pemimpin negara mereka sembilan puluh persen tak seagama dengan mereka, tetapi kepergian mereka sama sekali tidak dipersukar atau dihalang-halangi. Pemimpin negara kita sembilan puluh persen seagama dengan kita, tetapi kepergian kita ...?"
"Sangat seru dan indah!" kata Pak Subli memotong.
Bagian 17
SERU dan indah? Ya. Tetapi, sesuatu yang mengganggu dalam diriku ini, kembali bagai menggeliat. Tetapi pula, segenap pengalaman ini, bagaimanapun macamnya, memang membuat jiwaku bagai dibongkar. Betapa. Hatiku yang selama ini bagai kosong dan tak peduli, kini seperti dicangkuli -- gembur dan basah. Tuhan, suburkan jiwaku, tempat benih apa pun yang baik leluasa tumbuh.
Di sini, di tempat yang semakin dekat ini, kembali aku mengingatnya dan berdebar. Guru Muqri. Guru Muqri. Beberapa hari lagi, insya Allah, kami akan kembali bertemu. Matanya, alisnya, jenggotnya, egal-nya, putih bersih terjulai halus, seluruhnya berkesan tulus. Tiga cerita. Tiga kisah ....
Hampir semua teladan, suri ajaran yang ia berikan, memang selalu disampaikan dengan cerita. Tetapi tentang sesuatu yang mungkin diriku atau tentang sesuatu di sekitarku, ya, cerita seperti apakah?
Aku bertemu Guru Muqri dengan sangat ganjil, seperti seseorang yang datang ke dalam mimpi. Begitu saja ia muncul di sampingku, saat aku membaca beberapa ayat di Raudah. Ia mengucapkan salam, dan sesudahnya begitu saja berkata, "Bacaan Tuan baik, tajwid Tuan baik, kecuali dua huruf: dal dan dhod." Dibukanya mulutnya yang kecil, mulut yang bagai tersuruk dalam janggut putih. Sedikit ujung lidahnya ia gigit. "Da, da, di, di, du, da, di, du, adda, addi, addu. Tafaddol -- silakan." Dan tangannya yang memegang giginya yang bersih itu, kini dipindahkannya ke gigiku. Tanpa segan. Tanpa jijik.
Begitulah kemudian kami bercakap-cakap. Ia berbicara denganku seperti bicara dengan seorang yang telah ia kenal baik. Sungguh sangat menyenangkan.
Suaranya lembut. Bahasanya indah. Puisi, kisah, riwayat, muncul dalam kalimatnya sebagai perumpamaan-perumpamaan yang kena dan menarik. Aku ingat dan hafal beberapa. Misalnya tentang cinta yang katanya ia kutip dari Fakhrudin Iraqi, seorang penyair Persia yang lahir dan hidup di abad ke-13. Bunyinya:
Mana ada hati yang tak menyembur luka oleh tertusuk cinta Mereka yang tak pernah merasakan sakit cintav adalah lumpur yang tak berjiwa
Palingkan dirimu dari dunia, belokkan kaki kelanamu dari sana Songsong kerajaan cinta dan rasakan lezatnya
Atau tentang zikir
yang katanya ia kutip dari Ibnu Atha, penyair Arab abad ke-11:
Zikir bermacam-macam, diliputi cinta dan rindu dendam melahirkan ingatan Karena nafsu tercampur olehnya nafsu menjadi lemah dan terkendali Jiwa terpengaruh, derita enyah Nafsu baik tersebar olehnya, sebab sadar atau tidak, zikir dapat menggulung hawa nafsu dan dapat menceraikannya Serta menghapuskannya, kemudian memulihkan kekuatan penglihatan dan pikiran sehingga meninggi sebagai mahkota atas kepala
Zikir adalah jalan mengenal Ia Melalui kerlingan mata zikir menanamkan keyakinan dalam kalbu hingga dapat menyaksikan Ia memisahkan tirai antara kita dengan-Nya
Tentang keinginan dan perasaan tak puas
, Guru Muqri berkata, "Setiap orang di dunia ini, memiliki kepentingan-kepentingan sendiri. Apakah mengenai wanita, kekayaan, pengetahuan dan hal-hal lain. Masing-masing yakin bahwa kesempurnaan dan kegembiraannya terletak pada apa yang mereka kerjakan. Namun apabila mereka mulai meneliti apa yang mereka kerjakan, mereka akan segera merasa tidak puas dan kembali ke pangkal awalnya. Sesaat setelah itu mereka menyatakan bahwa mereka sungguh-sungguh mencari kebahagiaan dan kasih sayang; mereka mencari sesuatu yang baru namun kembali tak puas; begitulah terus-menerus."
Itu, kata Guru Muqri, ia kutip dari Jalaluddin Rumi, seorang sufi terkemuka yang hidup di awal abad ke-13 di Afganistan. Dan juga dengan mengutip Rumi, Guru Muqri menerangkan tentang makna berbuat.
"Di dunia ini, kita selalu mencari seorang tokoh yang benar-benar berbuat untuk diteladani. Karena kita tak menemukan orang yang mau membeli perbuatan, kecuali penikmat kata-kata, maka kita sendiri lantas menyibukkan diri cuma dengan kata-kata. Bagaimana kau bisa mengetahui perbuatan, jika kau bukan orang yang senang berbuat? Kita bisa mengetahui perbuatan hanya melalui perbuatan. Kita dapat memahami ilmu pengetahuan cuma lewat ilmu pengetahuan sendiri; bentuk melalui bentuk itu sendiri; makna melalui makna itu sendiri. Jalan amal dan perbuatan tak mengenal petualang. Jika kita berbuat, bagaimana orang bisa menerima perbuatan kita dan bisa melihat kita yang benar-benar sedang berada di jalan perbuatan? Perbuatan yang kumaksud bukan semacam puasa atau salat. Puasa dan salat adalah bentuk-bentuk perbuatan. Makna perbuatan yang sebenarnya berada jauh di lubuk hati dan bertalian dengan penghayatan kita ... oleh karena itu perbuatan bukanlah seperti yang lazimnya dipikirkan orang. Mereka percaya bahwa perbuatan itu hanya merupakan bentuk lahir dari sesuatu dan jika mereka berbuat sekadar menurut bentuk lahirnya belaka, maka mereka tak akan memperoleh rahmat atau pahala."
Begitulah, antara lain, kalimat-kalimat dari Guru Muqri. Semuanya menarik, memesona, menyejukkan telinga. Namun, sebenarnya, yang paling membuatku terkesan dari kesemuanya, adalah ketika ia bercerita, atau menerangkan, tentang keindahan. Ia mengatakan bahwa ia mengutipnya dari Fazil, tetapi aku lupa entah sufi atau pemikir mana.
Bagian 18
"KEINDAHAN di mana pun ia tampak, apa pada manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan dan logam mulia, merupakan ayat-ayat Tuhan sebagai perwujudan keagungan diri-Nya. Ia adalah Yang Serba Indah, sedangkan objek-objek yang kita lihat sebagai sesuatu yang indah, merupakan cermin dari yang jamak di mana sebagian dari diri-Nya yang hakiki menyatakan diri.
Karena punya asal-usul keilahian, keindahan memiliki pengaruh yang halus atas pemiliknya, membangunkan rasa cinta di dalam diri pemiliknya, sehingga di mana saja ia berada ia akan mampu memasuki persatuan dengan Tuhan sendiri. Jadi Tuhan adalah tujuan terakhir dari setiap berahi para pencinta; namun sementara ia belum ternyatakan oleh si pencinta, sementara ia masih membayangkan bahwa dunia yang fana merupakan pengilhamnya yang sebenarnya dan akhir tujuan dari keharuannya, cintanya itu masih berada dalam tingkatan khusus, dan ia sendiri masih dalam titian
perumpamaan.
"Demikianlah cinta merupakan pembimbing menuju Dunia Atas Sana, kendali yang membimbingnya menuju Langit; melalui api Cinta besi dapat berubah menjadi emas, dan tanah liat hitammu berubah jadi permata yang berkilauan. Cintalah yang membuat si bijak yang lalai sadar, dan mengubah yang keliru menjadi ahli makrifat; Cintalah yang merupakan penyingkap Kebenaran, jalan tersembunyi menuju Penyucian Tuhan. Dan bagi pencinta sejati, dia adalah hati murni dan kesucian hidup, benda dunia tak ada sangkut-paut di matanya; debu dan emas sama di matanya; kemurahan dan keramahan membedakannya dari yang lain: nafsu dunia tak memerintahnya lagi.
Meski mengesankan, jujur saja, sebenarnya aku tak begitu paham pasal tentang keindahan ini. Pun meski telah setahun. Betapa aneh kenyataan bahwa: aku masih bisa hafal kata-katanya tanpa paham akan maknanya.
10 Februari 1970, Siang
Bersama Pak Alwi, aku turun dari lantai atas dan berjalan menyusuri koridor yang panjang. Kami terus ke kantor Wakil-wakil Syekh menemui seorang pegawainya yang kukenal tahun lalu. Ia orang Malaysia, tetapi telah belasan tahun bermukim di sini dan telah menjadi warga negara Arab Saudi.
Aku tak tahu dorongan apa yang membuatku ingin bertemu dengannya. Melihat dan kembali mengenaliku, Umar tampak sangat gembira. Ia telah mendengar tentang Gambela tetapi tak menyangka kalau akulah pemimpin rombongan. Aku ditepuk-tepuknya. Dipeluknya lama.
"Rombongan Tuan masuk Mekah nanti sore."
"Heh? Kenapa cepat sekali, Umar? Biasanya dua malam kita di sini."
"Rombongan Tuan kiranya rombongan istimewa. Apakah Tuan-tuan tidak rindu lekas berjumpa dengan Kabah?"
Segera kami kembali. Segenap tim pimpinan rombongan cepat berkumpul, merundingkan tentang keberangkatan yang sungguh tak terduga ini.
Para Syekh yang dipilih oleh jemaah tak lama kemudian datang. "Nanti sore setelah Asar kita berangkat. Siapkan barang-barang, dan siap dalam pakaian ihram," kata mereka.
Matahari kian miring, turun dari titik kulminasi. Kami pun turun dari Madinatul Hujjaj, naik ke puluhan bis yang telah menanti. Bis-bis pun mulai berjalan, menyusuri jalan-jalan lebar dan ramai. Sore pun jatuh ke senja, gedung-gedung tinggi mulai bercahaya. Oh, tinggal tujuh puluh kilometer lagi dari Rumah Suci dan tanah tumpah darah Nabi. Oh, betapa. Betapa aku juga hampir lupa. Kupimpin talbiah. Dan seluruh jemaah menyambutnya dengan suara gemetar.
"Labbaik Allahumma Labbaik -- Aku terima panggilan-Mu ya Allah, aku terima."
"Labbaikal La syarika Laka Labbaik -- Aku terima panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku terima panggilan-Mu."
"Innal Hamda, Wanniakmata Laka Walmulk -- Bahwa segala puja dan kenikmatan bagi Engkau dan kepunyaan-Mu."
"La syarika Lak -- Tak ada sekutu bagi-Mu."
Wajah-wajah dalam bis begitu khusyuk, dalam pakaian ihramnya. Tanda-tanda puas menempuh ujian berat terlihat jelas pada air muka yang membaca talbiyah.
Udara malam telah menyambut kami. Gemerlapan cahaya telah di ambang pintu. Dan inilah pintu kota yang dituju: Mekah.
Oh, bibir-bibir di bis tak pandai berkata apa pun kecuali talbiah. Disusul oleh doa memasuki Tanah Haram. Dan, yaah ... alangkah ramainya kini. Manusia, manusia, manusia. Hanya itulah yang tampak di depan, di kiri, di kanan, di belakang.
Dan akhirnya, akhirnya kami sampai di tengah-tengah jantung kota Mekah. Dan yaa ... inilah menara yang menjulang ke langit tinggi, menara Masjidil Haram.
Ya Allah, setelah sekian lama terkatung-katung di atas lautan, setelah mengalami berbagai cobaan dan rintangan, benarkah hari ini kami melihat rumah-Mu yang megah, kokoh, dan indah?
Bis membelok ke kiri, melewati Bab Abdul Azis yang diapit oleh dua menara. Melewati Babus Shofa, bis sedikit melambat dan berhenti. Di depan kami, serombongan jemaah berbendera nasional Bulan Bintang melintas, menuruni tangga, terus ke Mas-a, dan ujung rombongan yang seperti gerbong kereta panjang itu hilang masuk ke Babus Salam.
Bis kami kembali bergerak. Kepala kami kembali menoleh. Menatap nanap ke kiri, ke dinding masjid yang tinggi. Walau seluruhnya dilapisi marmer abu-abu, tetapi keabu-abuan tak menjadikannya suram. Pantulan cahaya bagai teredam, membuat kilapnya jadi melembut dan tak tajam.
Dan akhirnya .... bis kami benar-benar berhenti. Bismillah, kami cecahkan kaki. Inilah pondokan kami. Rumah Syekh tempat kami menginap di kota kelahiran Nabi ....
Bagian 19
IA senang belajar dengan Buya Daruwih. Bila ia atau teman-temannya salah dan Buya Daruwih mencontohkan, suara guru mengajinya itu sungguh sangat merdu. Tetapi, yang baginya paling mengesankan, adalah alunan suara Buya Daruwih kalau azan. Suara Si Buya betul-betul bagai menjalar, merayap dalam semacam lorong yang ia bayangkan seperti spiral, berputar, meninggi melengking, merendah melayah, lalu menyapu (atau menyisir?) segala yang merumbul dalam atmosfer. Sungguh, takkan terlupakan. Itulah yang membuat ia tak pernah bolos salat Isya. Itulah yang membuat ia betah mengaji sampai lama. Sampai-sampai Mak Nuan bahkan akan menjemputnya bila malam itu bertepatan dengan jadwal Si Mamak (wirid, pengajian-pengajian itu) di kampung lain. Ah … Mak Nuan, Buya Daruwih, tidakkah jemputan-jemputan Si Mamak itu pula yang mula mengantarkannya pada keheranan? Ya, keheranan itu: walau Mak Nuan sering muncul di surau-surau kampung lain, tapi tak pernah sekalipun tampak hadir di surau kampung mereka.
Waktu itu, tentu, tak ada keinginan (ataukah lebih tepat keberanian?) menanyakan akan keheranannya kepada Si Mamak. Tetapi, kemudian, di lepau Mak Lian jugalah ia mulai paham. Paham? Tidak. Karena keterbatasan dunianya yang kanak-kanak, mungkin tak tepat kalau disebut paham. Tetapi di lepau Mak Lian itulah (dalam kegemaran mengupingnya, tentu) ia pertama kali mendengar orang-orang dewasa menyebut kata partai dan mengaitkannya dengan Buya Daruwih dan Mak Nuan. Tentu pula tak serta-merta ia mengerti apa itu arti kata partai. Butuh beberapa pengupingan, butuh sejumlah rekaman kejadian, butuh jangka waktu yang tak terkalkulasikan, untuk bisa sampai pada gambaran berikut (yang bukan tak mungkin pula telah ia tambahkan atau lengkapkan bertahun-tahun kemudian setelah ia pergi jauh dari kampung):
Entah kapan, saat ia juga telah "pindah" ke rumah bulek, ada waktu-waktu tertentu di mana Mak Nuan dikunjungi oleh belasan atau kadang dua puluhan temannya entah dari kampung mana dan kemudian mereka akan ngobrol berlama-lama. Hal itu baginya, tentu, tak begitu menjadi perhatian karena anggapan orang-orang yang berkunjung itu hanyalah bagian yang wajar dari pergaulan luas Mak Nuan. Yang ia ingat, yang mungkin sering ia duga-duga dan tunggu, apakah teman-teman Mak Nuan itu akan ngobrol sampai lewat sore. Karena, bila mereka ngobrol sampai lewat sore, itu artinya ia akan disuruh membeli makanan kecil entah apa. Dan itu, artinya juga, ia akan berkesempatan masuk ke lepau Mak Lian. Dan karena makanan kecil yang dipesan teman-teman Mak Nuan itu jumlahnya tak bisa dibilang sedikit, maka ia akan berkesempatan untuk berlalai-lalai -- menguping lama-lama.
Suatu kali, saat ia juga disuruh membeli makanan kecil itu ke lepau Mak Lian, seseorang menegur, "Oi Nie, berkumpul lagi orang-orang partai itu di tempat mamak waang?!" Nah, waktu itulah ia pertama kali mendengar kata partai itu. Kata yang, seperti biasa, karena asing, serta-merta menyedot perhatiannya. Maka, sejak itulah ….
Lepau Mak Lian yang luas, seperti umumnya lepau di mana pun di kampungnya, terdiri dari beberapa meja. Bahkan walau lepau di mana pun di kampungnya itu kecil saja, meja yang dipisah jadi beberapa itu akan tetap ada. Dan begitulah setiap meja akan diisi oleh kelompok yang berbeda. Perbedaan, yang kemudian menjadikannya kelompok, bisa saja berdasarkan usia, jenis pekerjaan, topik percakapan, atau entah apa. Bila seseorang masuk ke lepau, maka si seseorang itu cenderung akan disoraki (disapa) oleh suatu kelompok dari suatu meja. Bukan berarti kelompok orang di meja lain tidak menyapa, sebab sorakan itu lebih berfungsi memudahkan seseorang yang baru masuk bisa langsung menuju ke meja mana ia akan betah duduk (minum kopi) lama-lama. Tetapi, di lepau Mak Lian, agaknya memang sedikit istimewa. Mungkin karena tergolong lepau terkenal, yang selalu ada pengunjung, dan karenanya luas, terdapat lebih banyak meja, maka meja-meja itu entah sejak kapan, walau tak tertulis, dengan begitu saja bagai telah bernama: meja rang ka sawah, untuk menandai orang-orang yang duduk di situ umumnya para petani yang obrolannya selalu tentang sawah dan ladang; meja rang panggaleh, untuk menandai orang-orang yang duduk di situ pastilah para penggalas atau pedagang; meja parewa, untuk orang-orang yang hanya berbual ha-ha-ha yang topik obrolannya cenderung ngawur saja; meja rang mudo, tempat anak-anak muda yang baru dibolehkan atau diizinkan duduk di lepau, dan banyak lagi meja lain entah apa dengan topik obrolan yang juga entah apa. Dan, yang menegurnya waktu itu, tentu saja adalah orang yang duduk ngobrol di meja rang politik.
Sejak itu, bila ia berkesempatan masuk ke lepau Mak Lian, maka incaran pengupingannya adalah kelompok orang yang duduk di meja rang politik. Begitulah kemudian ia tahu Buya Daruwih, yang adalah orang semenda dan sehari-harinya pegawai Kantor Penerangan, itu merupakan anggota sebuah partai pusat (Jakarta). Sedangkan Mak Nuan, sebaliknya, adalah anggota (tak tepat pula disebut anggota, karena konon Si Mamak hanya menyediakan tempat untuk berkumpul bagi teman-temannya) partai politik daerah (Sumatra Tengah). Itulah yang menyebabkan Mak Nuan tak pernah hadir di surau kampung mereka. Suatu penyebab yang dalam pikiran kanak-kanaknya betapa ganjil. Apakah partai itu begitu pentingnya, sehingga mengalahkan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah atau agama?
Dari pengupingan di kelompok orang meja rang politik itu, sesudahnya, ia merekam banyak kata, akronim, istilah, dan kalimat yang tentu tak bisa ia pastikan kapan tepatnya ia mengerti: tentang DPRST (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra Tengah) yang dibekukan pusat (istilah mereka: kekosongan demokrasi); tentang terbentuknya KPPST (Koordinasi Partai-Partai Politik se-Sumatra Tengah) sebagai akibat Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra Tengah tak pernah dicairkan; tentang Kongres Rakyat yang mempertemukan para pemimpin dari berbagai pelosok nagari (kampung); tentang Pernyataan Bersama yang mendesak agar diselenggarakan pemilihan umum; tentang … ah, entahlah, banyak lagi, yang tak ia mengerti, tetapi entah kenapa ia betah dan betah untuk menguping. Ataukah karena, walau konon bukan anggota partai, Mak Nuan seolah bagai terlibat di dalamnya?
Bagian 20
IA ingat, kemudian, saat pemilihan umum betul-betul akan diadakan. Seluruh meja di lepau Mak Lian bagai berubah jadi meja rang politik. Tak lagi ada orang yang bicara sawah, ladang, untung-rugi -- semua membicarakan partai. Dan, ketika pemilihan umum diselenggarakan dan hasil perolehan suara diumumkan, partai teman-teman Mak Nuan itu ternyata menang besar (di Sumatra Tengah, tentu) -- hampir lima puluh persen. Tetapi, tentu pula, yang namanya Mak Nuan, karena bukan orang partai, tetaplah si Tukang Pedati....
Ia tak begitu ingat apakah sesudahnya meja-meja di lepau Mak Lian itu kembali terpisah jadi kelompok meja masing-masing. Lapangan tempat diselenggarakan pemungutan suara, entah bagaimana awalnya, oleh teman-temannya telah beralih guna, menjelma jadi lapangan sepakbola. Dan begitulah keasyikan baru kemudian masuk dalam hidupnya. Dan begitulah hari-harinya kemudian habis di sana. Berlari-lari. Menggiring bola. Mandi keringat. Terkapar letih di rumput. Telentang. Buluh rumput di mulut. Langit. Awan. Setahun? Dua tahun? Entah. Dan, ketika kembali ke lepau Mak Lian, walau masih menepi-nepi (mengikuti teman yang lebih besar), ia telah mendapati dirinya duduk di kelompok meja rang mudo (apakah waktu itu ia telah kelas lima? Atau kelas enam? Entah). Meja rang mudo yang bagai tak lagi terpisah – karena semua meja kembali ia dapati seolah menjelma jadi meja rang politik.
Saat itu, tentu, (untuk menguping) ia tak lagi perlu bersiasat (mencuri-curi). Maka, (walau sebenarnya tetap belum mengerti dan mungkin ia tambahkan atau lengkapkan pula bertahun-tahun kemudian) ia dengarlah: tentang struktur militer yang disederhanakan, yang diciutkan hanya dalam dua komando Tentara Teritorium (Bukit Barisan di utara dan Sriwijaya di selatan) yang membuat banyak prajurit Divisi Banteng dikeluarkan; tentang reuni Divisi Banteng, yang mengikutsertakan tali tigo sapilin (ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai) yang kemudian melahirkan Dewan Banteng; tentang pulang dan bergabungnya tokoh-tokoh politik dari pusat (Jakarta), yang membuat Dewan Banteng melahirkan Dewan Perjuangan; tentang... ah, entahlah, banyak lagi, yang tak ia mengerti, yang ujungnya: proklamasi PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Ia ingat, hari-hari sesudah proklamasi PRRI itu, obrolan di lepau Mak Lian tak lagi ditingkahi gelak tawa. Wajah orang-orang tua dan orang-orang dewasa menjadi serius, bahkan tegang. Apalagi ketika terdengar kabar tentara pusat telah menyerbu. Pesawat AURI mengebom sebuah jembatan di Painan, lalu besoknya mengebom Bukittinggi dan Padang.
Ada yang menenangkan dengan berkata perang takkan sampai ke kampung mereka. Kecuali ada beberapa yang kemudian memang menjadi anggota partai, tak seorang pun orang kampung mereka terlibat dalam Dewan Perjuangan. Katanya, orang-orang partai tak ada hubungannya dengan PRRI. Beberapa meyakini pendapat itu. Tetapi lebih banyak yang tidak. Ia ingat, seorang yang duduk di kelompok meja di depannya malah langsung berdiri, membantah, dengan menyebut bahwa salah seorang dari tokoh politik yang pulang dari pusat dan bergabung dengan Dewan Banteng justru adalah ketua partai yang menang besar di daerah pada pemilihan umum yang lalu itu.
Lalu, dua bulan sesudahnya, Padang jatuh ke tangan APRI. Bulan berikutnya jatuh pula Bukittinggi. Dan, seperti yang banyak orang duga, PRRI terdesak dan masuk ke kampung mereka. Maka, mulailah: perang gerilya....
Dan, lalu, awal tahun berikutnya, 6.000 tentara APRI dikirim dari Jawa: masuk ke Bukittinggi....
Dada yang Seperti Meledak
10 Februari 1970, Malam
Kesan pertama yang paling terasa di rumah kediaman Syekh pemondokan kami adalah suasananya yang ramai. Mungkin karena jalan di depan pemondokan merupakan jalan lalu-lalang orang yang akan datang ke, atau pulang dari, masjid. Tak lama, kopiah putih telah bertengger di kepala kami. Sajadah telah tersandang di bahu. Baju dan sarung khas juga telah dikenakan oleh seluruh jemaah.
Setelah mengecek dan merapikan kembali barang-barang di ruangan khusus yang telah disediakan oleh Syekh, kami dijamu makan malam. Nasi panas dan gulai kambing terasa sangat lezat memenuhi perut yang kosong sejak tadi siang. Begitu saja kami kemudian telah menggeloso, jadi enggan berdiri, bagai diberati oleh rasa kenyang.
"Kami harap Tuan-tuan merasa senang di pondokan ini," kata Syekh. "Sebelum kita ke masjid untuk tawaf qudum, Tuan-tuan boleh beristirahat sebentar."
Tetapi, ucapan Syekh yang menyuruh istirahat itu, justru tiba-tiba menyadarkan kami. Betapa tak pantasnya kami menggeloso kekenyangan di sini. Ya. Setelah sampai di sini, di Tanah Suci ini, di tempat yang begitu dekat dengan Kabah, manalah tepat, manalah ada, kata istirahat. Sungguh, tak akan ada hal lain di kepala para jemaah, kecuali segera, kecuali bergegas, melakukan apa yang selama ini mereka inginkan, mereka rindukan.
Kami bersihkan badan, berwudu, dan melekatkan kembali pakaian ihram. Satu per satu kami bergerak, menuruni tangga, ke lantai dasar, karena kami ditempatkan di lantai tiga. Dipimpin oleh muthawwif (orang yang memimpin tawaf), kami mulai berjalan menyeberangi jalan raya yang ramai, turun tangga lagi, dan berjalan lagi menyusuri jalan yang lebih ramai ke Babus Shofa.
Jarum waktu telah menunjukkan pukul 23.00. Rombongan kami bergerak terus, berpapasan dengan manusia, manusia, manusia. Berbagai macam bangsa, berbagai macam bahasa, bergerak ke satu tujuan: Kabah.
Kabah. Benarkah kami akan segera berada di hadapannya?
Suara muthawwif terus menggema, memimpin talbiah, dan kami mengikutinya dengan dada berdebar tetapi sabar. Sabar? Ya, karena sungguh sangat sukar menahan gelora yang membuncah dan bagai ingin meledak, dari dada.
Lihatlah jemaah semakin ramai. Jemaah yang datang menuju masjid, dibanding jemaah yang pulang dari masjid, semakin malam semakin banyak. Betapa berbeda dari negara kami, yang bila hari semakin malam masjidnya semakin lengang.
Dan kini, lihatlah, panjang sekali, tinggi, agung, dan kukuh, itulah ia Mas-a, tempat jemaah berlari-lari mengerjakan sai, setelah tawaf di Kabah.
Bagian 21
Mas-a yang panjangnya 405 meter, tak ubahnya seakan pagar, dinding yang kekar, bagi masjid terbesar di kolong langit.
Kami akan mencapainya beberapa langkah lagi. Kami telah berada di pelataran luas yang di bawahnya terdapat beratus-ratus kamar mandi dan toilet dengan keran-keran pancur tempat orang-orang berwudu sebelum masuk ke masjid. Kami naiki tangga, dan hati kami semakin berdebar. Benarkah kami akan memasuki masjid yang menjadi pusat ibadah bagi seluruh umat di planet bumi?
Pintu tengah Mas-a, kini, telah menyambut kami. Tetapi oh, bagaimanakah kami menyeberangi lautan manusia yang tak henti-henti berlari-lari dari kiri dan kanan kami? Lihatlah mereka tengah sai, melakukan suatu ujian yang pernah dijalani oleh Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim. Mereka berlari-lari, berhenti, dan berjalan lalu berlari-lari kembali. Tak putus-putus, tak henti-henti.
Lihatlah Muthawwif kami. Tentu, ia tak mencegah mereka yang berjalan berlari-lari. Melainkan menyelusup di antara mereka, dan kami mengikutinya dengan cepat, sigap. Seluruh jemaah, akhirnya, berhasil lewat tanpa mengganggu arus sungai manusia yang sangat mencengangkan ini.
Hanya sepuluh meter jalan yang kami seberangi. Tetapi mungkin ada sepuluh bangsa, sepuluh ras wajah, yang kami temui. Dan, wajah-wajah itu, bagaimanapun ragamnya, tidakkah sama-sama bersinar sama-sama bercahaya? Akankah pernah kami temukan wajah-wajah cerlang seperti ini di belahan dunia lain entah di mana pada satu tempat saja pada satu lokasi saja? O, tak akan.
Dan kini, kami telah berada di seberang. Dengan dada kian berdebar, kami pun masuk ke dalam masjid dengan tiang-tiang marmer, tinggi, besar, menjulang jauh di atas kepala. Dan ohh ... itulah ia: Kakbah. Baitullah.
Beberapa jemaah, lihatlah, bagai ingin menghambur, ingin menyerbu. Tetapi langkah Muthawwif yang tenang, pelan, sabar, dengan kekuatan ganjil yang entah bagaimana berhasil menekan, menahan, menenangkan emosi kami. Hanya saja, kini, Muthawwif mulai memimpin dengan suara yang keras, lantang. Sementara mata kami tak lepas-lepas, tak lepas-lepas dari Kakbah yang menghitam -- oleh kiswah yang mengilap.
Muthawwif telah selesai memimpin doa. Tetapi, mata para jemaah, mata-mata yang rindu, bagai masih terpaku. Air mata yang dulu pernah turun ketika rintangan menghadang kami di perjalanan, kini kembali menggenang, dan kemudian jatuh, membasahi kain ihram kami yang putih.
Kudengar doa seorang jemaah: "Ya, Allah, sungguh hanya Engkau penguasa yang Maha Menentukan. Kiranya telah Engkau kabulkan, telah Engkau izinkan, dan Engkau singkirkan segala penghalang kami mengunjungi rumah-Mu yang suci ini. Kami ingin berkah-Mu sebagaimana Engkau memberkahi rumah ibadah ini.
Berilah kami petunjuk dan berilah semua manusia petunjuk, supaya mereka sadar bahwa Engkaulah yang paling berkuasa. Engkaulah penentu dan Engkaulah yang memiliki semua, yang memberi kehendak pada semesta.
Bagai kerumunan semut, kami berjalan di atas lantai marmer yang halus, di bawah atap beton yang kukuh. Manusia di kiri, manusia di kanan; di mana pun di sebelah mana pun. Dan sosok kubus hitam di tengah lapangan luas yang semakin dekat, membetot mata menyedot pandangan; jadi tumpuan. Ratusan, atau mungkin lebih tepat ribuan lampu, menyorotkan cahaya memberi terang. Dan jemaah berjalan terus, di bawah kerlipan jutaan bintang, berpendar dari langit yang malam itu juga cemerlang.
Puluhan meter lagi. Tetapi, alangkah sesak. Kami berusaha untuk tak lepas dari rombongan.
Belasan meter lagi, dan Kakbah kini tampak tinggi. Belok kiri, melalui depan mimbar tempat berkhotbah, kami memasuki Babu Bani Syaibah. Belok kiri lagi, kami menempatkan diri setentang Hajarul Aswad yang menempel pada rusuk sebelah kanan pintu Kakbah.
Dari situlah kami memulai. Dari situlah semua umat memulai. Dari situlah Nabi Muhammad SAW memulai, mencium dan mengecup Hajarul Aswad.
Muthawwif pun mulai memimpin tawaf. Dan doa-doa yang telah dibekalkan, dan doa-doa yang telah dihafalkan, kami persembahkan ke hadirat Tuhan, memuja-muja di rumah-Nya yang indah, di rumah-Nya yang berkah. Detik-detik, menit-menit, berlalu dengan khusyuk. Satu kali, dua kali, tiga, empat ... lima, enam, kami sudah berkeliling tujuh kali. Alhamdulillah, tawaf telah selesai. Kulihat jemaah kini bergerak bagai merangsek, ingin mencium Hajarul Aswad.
Mencium Hajarul Aswad? Hatiku berkata-kata dan tampaknya memang tak mungkin.
Badan kami yang kecil ini, sosok yang hanya bagai butir ini, sungguh takkan bisa bersaing dengan tubuh-tubuh saudara kami dari Afrika.
Mereka, saudara-saudara kami dari benua hitam itu, selalu menang dengan tubuh-tubuh yang lebih besar dan kuat. Tetapi tak apa, jemaah tampaknya rela. Mereka mungkin menenang-nenangkan hati seraya mengingat ucapan Umar bin Khatab:
"Sesungguhnya engkau adalah batu yang tak mendatangkan manfaat dan mudarat. Tetapi karena Nabi menciummu, aku pun menciummu juga."
Kembali kami berjalan. Beringsut mencapai makam Ibrahim. Di belakang makam Bapak Nabi-nabi itu, kami salat dua rakaat seperti yang dicontohkan Nabi. Sesudahnya kami menuruni tangga, ke Sumur Zamzam yang terletak di bawah lantai masjid setentang rusuk Hajarul Aswad. Setelah berdoa, kami rasakan segar air dari sumur yang berumur ribuan tahun itu mengalir di tenggorokan. Oh, kenapa air ini tak pernah kering? Tak pernah habis? Kami basuh pula muka, basahi pula kepala, merasakan sejuk yang kemudian menjalar mendatangkan tenaga baru untuk siap-siap melaksanakan ibadah berikutnya mengerjakan sai di Mas-a.
Kami kembali menaiki tangga, dan berjalan di celah-celah ratusan ribu manusia menuju Bukit Shofa.
Bagian 22
KINI kami berada di ujung timur, di kaki Bukit Shofa, dan naik ke atas. Kami angkat tangan kami, menghadapkannya ke Kakbah. Dan, ketika kami memutar badan ke arah Bukit Marwa oh, manusia, manusia, manusia. Semua berpakaian ihram, memutih, memutih, berjalan dari timur ke barat dan sebaliknya. Jalan dua lajur ini penuh dengan rombongan manusia yang entah berasal dari pelosok dunia yang mana. Mereka sedang mementaskan lakon yang pernah dijalani oleh Siti Hajar.
Suami Siti Hajar, Nabi Ibrahim AS, meninggalkan Siti Hajar dan putra mereka Ismail karena kecemburuan istrinya yang lain, Sarah. Oh, bagaimanakah rasanya ditinggalkan di suatu tempat yang di sekelilingnya hanya padang pasir dan ketandusan? Dan suatu hari, persediaan makanan habis, badan lemah, anak menangis, air susu tak mengalir. Padang pasir, padang pasir, tangis si anak kian keras, bertambah keras, meronta-ronta kehausan.
Hajar berlari ke Bukit Shofa, melihat ke sekeliling kalau-kalau ada sumber air. Tak ada. Hajar berlari ke Bukit Marwa, melakukan hal yang sama, menginjit bersijingkat berputar melihat ke sekeliling. Juga tak ada. Ah, mungkin ada dari Shofa. Mungkin tadi kurang teliti. Maka, ia kembali berlari ke Bukit Shofa.
Di Bukit Shofa, kembali itu ia lakukan: Tangan dilindungkan ke mata, menginjit bersijingkat berputar, melihat ke sekeliling. Memang tak ada. Kembali ia berlari ke Marwa. Tetapi tetap tak ada.
Berulang-ulang ia lakukan. Berlari-lari. Di bawah terik. Di bawah panas. Sementara, suara Ismail kian keras terus menangis.
Ia lakukan lagi. Lagi. Suara Ismail tambah keras terus menangis.
Sungguh … berbeda dibanding malam ini. Kaki kami berpijak di lantai marmer yang sejuk. Kepala kami terlindung di tingkat dua masjid yang megah. Ribuan saudara seiring, di muka dan belakang. Tak lapar. Tak haus. Berbeda sekali dibanding Siti Hajar yang akhirnya terjelepak di Bukit Marwa setelah tujuh kali bolak-balik pada kedua bukit. Dengan payah, kehabisan tenaga, ia berusaha bangkit. Dan alangkah terkejutnya Siti Hajar ketika melayangkan pandang ke arah anaknya. Tak jauh dari kaki Ismail yang meronta-ronta, ia melihat air memuncrat-muncrat memancur-mancur dengan derasnya.
Subhanallah – Mahasuci Allah.
Hajar segera berdiri. Serta-merta ia bagai memiliki tenaga dan berlari menuju Ismail. Ketika ia sampai, kaki Ismail telah terendam dalam air. "Zummi, zummi – Kumpul, kumpul," kata Siti Hajar. Air yang mancur itu ia tampung dengan tangannya.
Zummi zummi zam-zam ma aau zamzam. Air zamzam, air zamzam itu lewat di kerongkongannya.
"Maa-u zamzama lima syuribu lahu -- Air zamzam, dengan niat apa engkau meminumnya."
"Jika engkau minum dengan niat untuk menahan lapar, atau untuk obat atau lainnya, insya Allah akan berhasil."
Begitu jawab Nabi ketika ditanya oleh sahabatnya Umar bin Khatab tentang khasiat air zamzam.
Demikianlah kami selesai mengerjakan sai menjelang lewat tengah malam.
Tetapi mata kami tak mengantuk. Tetapi hati para jemaah bagai tak ingin berpisah dengan rumah Allah.
Malam bertambah dingin. Tetapi, ya ... manusia tambah membanjir.
Empat ratus tahun lalu, dalam perjalanannya ke Alexandria, seorang musafir menggelar tikar di Maamura. Ia tertidur dan bermimpi. Dalam mimpi itu ia bertemu dengan perempuan yang sangat ia kenal. Perempuan itu, Rabiah, sedang bersimpuh dalam perpustakaan Alexandria yang indah. Perpustakaan besar dan megah, menyimpan lebih lima ratus ribu gulungan papirus.
Sang Musafir, yang tak seorang pun kenal namanya, merasa heran dan takjub. Ia tak menyangka akan bertemu dengan perempuan agung yang syair-syairnya telah menjadi napas dalam hidupnya. Dan yang lebih membuatnya heran, Rabiah menangkupkan tangan ke wajah, pundaknya bergetar turun-naik.
"Wahai perempuan mulia," sang Musafir tak mampu menahan diri, "kesedihan seperti apakah yang bisa meneteskan air dari matamu?"
Rabiah mengangkat wajah. Mata dan pipi dan tangannya basah, tetapi lelehan air itu seperti cahaya. Kemilau. "Aku tak menangis karena diriku, ya Pengembara. Aku sedih karena mereka, saudara-saudaraku, memanggul jasadnya begitu lama. Tahukah engkau bahwa tak ada serat yang begitu beratnya kecuali daging? Bertahun-tahun, berabad-abad, terus aku berdoa. Bertahun-tahun, berabad-abad, terus aku meminta: agar Ia mengizinkan aku -- masuk ke tubuh mereka."
Belum sempat sang Musafir melakukan apa pun, ia telah tersentak dari tidurnya. Lama ia terpana, sampai kemudian menyadari perpustakaan itu telah lama tak ada, dan sudah sejak ratusan tahun lalu hanya tinggal cerita. Cabang barat Sungai Nil juga tak lagi bermuara ke Alexandria, tetapi telah bergeser dan pelabuhan terbesar beralih ke Rosetta.
Ia mendesis. Menjalar.
Memperoleh Jumat
Dua ratus tahun lalu, di Hebron, seorang bilal bermimpi ia kembali hidup di kota itu lebih lima ratus tahun lalu. Hebron saat itu bernama Kota Kekasih, dan ia berada di Masjid Al-Haram al-Ibrahimi al-Khalil mengumandangkan azan.
Jauh setelah Asar, sang Bilal merasa heran seorang perempuan masih tafakur di dalam masjid. Ia perhatikan perempuan itu, dan dadanya berdesir mendapatkan seraut wajah yang begitu jernih begitu bening. Demikian jernih dan beningnya, sampai-sampai pilar marmer dan dinding pualam -- karena wajah itu – seperti memantul dan pantulannya menjadikan ruangan masjid kian benderang.
Sang Bilal tertegun karena pesona. Tanpa sadar, kakinya melangkah mendekati perempuan itu, tetapi terhenti oleh suara, lembut, menjalar hening ke telinganya. Lama ia terpaku, sampai kemudian sang Bilal sadar suara itu berasal dari si Perempuan. Meski lebih lima puluh langkah, suara itu bagai begitu dekat di pangkal telinga, jelas sekali bagi Sang Bilal
Bagian 23
"... Wahai Tuhanku, jangan jadikan daku kelewang di tangan penakluk perkasa. Jelmakan daku jadi tongkat kecil penunjuk jalan si orang buta .... Wahai Tuhanku, jangan jadikan daku pohon besar yang kelak jadi tombak dan gada peperangan. Jelmakan daku jadi batang kayu rimbun di tepi jalan, tempat musafir berteduh memijit kakinya yang lelah .... Wahai Tuhanku, apa pun juga bahagian dari dunia kini yang akan Kauanugerahkan kepadaku, anugerahkanlah itu kepada musuh-musuh-Mu. Dan apa pun juga bahagian dari dunia akan tiba yang akan Kauanugerahkan kepadaku, anugerahkanlah itu kepada sahabat-sahabat-Mu ...."
Sang Bilal tersentak, bangun dari tidurnya. Kalimat-kalimat itu, sejak bertahun-tahun lalu, sudah ada dalam dirinya. Apakah ia telah bertemu dengan Rabiah?
Terus, ia mendesis. Menjalar.
13 Februari 1970, Siang
Bersama Pak Roosdi, aku masuk dari Babus Shofa. Betapa ramai. Begitu ramainya, sehingga tape recorder yang dari pemondokan bisa kujinjing (dan harus kukepit saat kian dekat ke masjid), kini terpaksa kuangkat di atas kepala. Walau akhirnya kami berhasil menyelusup, tak tampak ada tempat yang lowong. Terpaksalah kami terus menyelusup, menyelinap. Sampai ke Bab Abdul Malik, tempat yang lowong tetap belum kami temukan. Pak Roosdi menggamitku, menunjuk ke atas. Naik ke tangga?
Tangga yang lebar pun kami naiki. Barangkali (karena begitu berdesakannya), di tiap-tiap anak tangga kami memerlukan waktu sekitar dua menit. Padahal, mereka yang sudah tiba di atas, kini tampak juga celingukan kiri-kanan, mencari-cari tempat yang sekiranya bisa untuk (bahkan walau hanya) berdiri melaksanakan salat tahiyyatul masjid.
Kami tiba di puncak tangga, menyelusup lagi, mencari lagi, dan akhirnya melihat tempat yang sedikit kosong setelah berbelok ke kanan. Kenapa bisa belum terisi? Ah, mungkin karena tempat itu tak terlindung oleh sinar matahari. Di situlah kami berdiri dengan pemandangan di kiri, kanan, depan, dan belakang penuh manusia, duduk, dengan lutut yang ditegakkan, menghemat tempat bagi saudara-saudara lain.
Aku pun salat, tahiyyatul masjid dua rakaat. Selesai salat, Saudara di sebelahku menjulurkan tangan.
Kusambut salam dari tangan yang lebar, besar. Tentu besar, karena berasal dari tubuh yang juga besar, tinggi, berkulit hitam mengilat dengan sebaris gigi yang putih. Bersih. Sebersih kain ihram yang melekat di tubuhnya. Sebersih hati yang tersimpan dalam dadanya?
Tape recorder kupasang, dan dengung suara ribuan umat terekam masuk ke dalamnya. Rekaman ini, adakah kelak, akan jadi bagian khusus dalam hidupku. Adakah akan sangat menyejukkan mendengar rekaman ini, suatu hari nanti, di Tanah Air, di malam sunyi. Jiwaku yang kering, jiwaku yang kosong, akankah bisa tersentuh, dan kembali lahir, dalam ketenangan. Dalam kelegaan dalam kelapangan.
Saudara Hitam di sebelahku, kiranya, ingin bercakap-cakap menunggu satu jam lagi khotbah Jumat. Memang, kami tadi masuk pukul 09.30. Tetapi hampir sudah tak kebagian tempat. Bagaimanakah bagi mereka yang, misalnya, masuk pukul 12.00? Tempat seperti apakah yang akan mereka peroleh? Atau, seperti yang pernah kualami tahun lalu, sangat mungkin malah tak bisa masuk.
Dengan bahasa Inggris yang populer dan mudah dimengerti, Saudara Hitam-ku bertanya hal-hal yang umum. Kubalas juga dengan balik bertanya. Tak kuduga ketika ia tiba-tiba berkata, "Saya pernah datang ke negeri Tuan."
Datang ke Indonesia? "Oh... kapan?"
"Waktu pesta olahraga itu, Ganefo. Saya pelatih atlet dari negara saya."
O sempitnya dunia. Aku juga jadi mengerti apa yang menyebabkan Saudara Hitam ini tadi ingin bercakap denganku. Dari wajahku tentu ia menduga (dan dugaannya tepat) aku dari mana.
"Negara Tuan sangat indah. Bagaimana kabar Presiden Ahmad Soekarno?"
"Oh ... saya senang mendengarnya. Tetapi presiden kami sudah turun takhta. Digantikan oleh Jenderal Soeharto."
"Jenderal? Militer?"
"Begitulah." "Bagaimana menurut Tuan?"
Pertanyaan itu. Bagai tahu saja ia pikiran dan perasaan yang tiba-tiba bergejolak di dadaku. Apakah ia menangkap air mukaku di saat bicara tentang presiden? Perasaanku tak enak. Beberapa saat aku terdiam. "Kita mengharapkan kondisi yang lebih baik," kataku akhirnya.
"Insya Allah," kata Saudara Hitam ini menanggapi. Dan kemudian kami sama-sama istigfar, sebab beberapa menit lagi khatib akan naik mimbar.
Kubuka Alquran kecil yang baru kubeli. Perlahan mulai kubaca. Tetapi tetap ada yang seolah mengganggu. Percakapan tadi bagai masih tertinggal. Untunglah tak lama kemudian khatib mengucapkan salam, dijawab oleh gemuruh suara dari ratusan ribu mulut dari ratusan ribu (ataukah jutaan?) jemaah.
Muazin pun lalu mengumandangkan azan, menggemakan suaranya yang lantang. Disusul kemudian oleh khotbah khatib. Seluruhnya dalam bahasa Arab -- hanya 18 menit. Memang, sesuai dengan tuntunan Rasulullah: pendekkan khotbah, panjangkan salat.
Muazin ikamah. Kami semua berdiri, mendirikan salat Jumat. Jumat pertama di bulan Zulhijah. Jumat terakhir menjelang wukuf di Arafah.
Sampai lama setelah salat Jumat, tak seorang pun dari kami ingin berajak. Semua tenggelam dalam tafakur, dalam doa-doa, dan mungkin pula dalam air mata. Dan semua makin terhenyak ketika terdengar suara merdu dengan makhraj yang fasih membaca Alquran. Hari ini, memang, qari Mesir terkenal Syekh Muhammad Abdul Bashith Abdus Shomad bersama gurunya, Syekh Makmun al-Qhushoiri, membaca Alquran di Masjidil Haram.
Bagian 24
DENGAN gaya dan irama yang khas, guru dan murid itu berganti-ganti membaca. Ketika selesai, Pak Roosdi bergumam bagai berbisik, "Sungguh aku bersyukur. Selama ini aku mengagumi suara mereka dalam jarak ribuan mil dari tanah air. Tetapi hari ini aku ada di sini, mendengar langsung dari bibir mereka."
Entah kenapa, aku ingin menunggu sampai salat Asar. Tetapi, Pak Roosdi menggamit lenganku dengan suara kembali berbisik, "Lapar."
Ah yaa.....tiba-tiba aku juga merasakannya. Siapakah orang yang tak merasakan lapar?
Aku tersenyum, mengangguk, dan segera akan berdiri. Tetapi belum lurus lututku bertumpu, orang di sebelahku juga menggamit. Oh, aku sampai lupa dengan Saudara Hitam-ku.
Aku menoleh, tetapi segera merasa heran. Mana ... manakah ia, Saudara Hitam itu? Tak ada. Di sebelahku, kini, menatap dengan tersenyum kepadaku, adalah seorang Arab dengan jenggot dan kumis yang subur dan tebal. Iakah yang telah menggamitku?
Belum sempat melepas heran, ia mengucapkan salam. Benar kiranya. Aku pun buru-buru membalas.
"Tuan Janir?"
Ia kenal namaku. Aku mengingat-ingat, tetapi segera ia berkata, "Maaf, saya kenal Tuan, tetapi bagaimanapun Tuan mengingat, Tuan takkan kenal saya."
Aku tercengang.
"Saya disuruh Syekh Muqri Abdur Rauf al-Madani menjumpai Tuan."
Syekh Muqri! Guruku.
"Oh ya," kataku gembira. "Bagaimana kabar Beliau? Dan siapakah gerangan Tuan?"
"Siapa saya mungkin tak penting, Tuan. Tetapi Syekh Muqri meminta saya memberikan sesuatu kepada Tuan."
Heranku bertambah. "Memberikan sesuatu?"
"Ya, Tuan. Sebuah naskah. Sebuah cerita." Dan ia mengulurkan tangannya memberikan sebuah benda lembut berbentuk pipa. Aku menerima, mengamati, merasakan, dan tahu bahwa benda kecil berbentuk pipa itu gulungan kertas yang dibungkus oleh selembar kain yang sangat halus.
Cerita. Tiga cerita. Tiga cerita itukah? Aku mengangkat kepala, ingin bertanya. Tetapi segera jadi terkejut.
"Mana ...?! Mana ia?"
"Menyelinap. Telah pergi," kata Pak Roosdi. "Saudara Hitam itu, bukan?"
Saudara Hitam? Apakah ... Pak Roosdi tak melihat aku baru saja bicara dengan seorang Arab? Aku bersijingkat, celingukan mengamati orang-orang yang berdiri. Tetapi ia tak tampak, ataukah ... mungkin memang tak terkenali karena punggung-punggung yang seragam?
Aku terpana. Lama.
Pak Roosdi menggamit. Aku tersadar.
"Eh, ya. Mari," kataku.
Ular Pertama
Lima puluh tahun lalu, di negeri jauh tak begitu dikenal, seorang guru berdiri di atas karang menatap ke arah laut. Ia tak bermimpi ketika melihat seorang perempuan melesat di ketengahan laut seolah mengendarai gelombang. Seratus langkah sebelum pantai, perempuan itu melompat dari punggung ombak dan melayang ke arah Sang Guru.
Itu bukanlah pertemuan pertama. Perempuan itu, mengaku bukan Rabiah dan bukan pula dari Basrah, telah berkali-kali mengunjungi Sang Guru. Mulanya Sang Guru menyikapi perempuan itu bagai bentangan jauh yang asing, tetapi akhirnya ia tahu bahwa perempuan itulah yang selalu ia tunggu.
Lebih dua puluh tahun mereka bertemu, rutin, pada tebing curam di karang itu. Sampai suatu hari perempuan bukan Rabiah itu meninggalkan untaian kata, disulam di selembar kain, untuk kemudian tak muncul lagi. Walau Sang Guru masih menunggu berhari-hari berminggu-minggu, perempuan bukan Rabiah itu seolah lenyap, bagai jadi bagian dari masa lalu.
Setiap hari sesudah salat, Sang Guru ingat perempuan itu. Setiap salat sesudah doa, sulaman di kain menyembur-nyembur dari dada:
Wahai Tuhanku, sesudah daku mati masukkanlah daku ke neraka dan jadikan jasmaniku memenuhi seluruh ruang neraka sehingga tak ada orang lain dapat dimasukkan ke sana Wahai Tuhanku, bilamana daku menyembah-Mu karena takut neraka jadikan neraka kediamanku dan bilamana daku menyembah-Mu karena gairah nikmat surga maka tutupkan pintu surga selamanya bagiku
Bagian 25
"Malam kemuliaan itu, Ia janjikan, lebih baik dari seribu bulan. Tetapi Guru, ketinggiannya menggigilkanku. Berilah aku anggur dari cawanmu."
Seorang murid mengembangkan tangan. “Pada malam itu,” bibirnya gemetar, "turunlah para malaikat. Dan malaikat Jibril, dengan izin-Nya, mengatur segala urusan."
"Malam itu penuh kesejahteraan," yang seorang bicara dengan isakan, "... sampai terbit fajar."
Sang Guru pun mengedarkan pandang, menancapkan tatap dari satu murid ke lain murid. Tatapan mencorong, seperti matahari, namun lembut serupa pendaran bulan dan setiap kali diterima setiap murid selalu membuat mereka terlambung dan di setiap keterlambungan mereka merasa bagai tengah menunggangi kapas. Empuk. Tetapi sekaligus liat. Tetapi sekaligus tak berwujud. Dan dengan tunggangan yang demikian, yang tak berwujud itu, masing-masing mereka kemudian memacu tunggangannya, menyebar, ke penjuru kota. Mencari. Telinga tegak. Mata nyalang. O, malam yang lebih mulia dari seribu bulan.
Seperti biasa, kota gemerlap. Kegelapan mengerut seperti seekor kukang yang menggelung diri lalu lenyap ke ketiadaan. Angin menggigil bagai rumput yang gemetar dan di setiap kegemetarannya ia mengecil, mengecil dan menjauh, semakin jauh, terus mengecil dan menjauh tak tergapai oleh siapa pun pernah menggapai. Malam ini, Sayangku, akan lebih mulia dari seribu bulan. Tidakkah kau lihat aku akan segera berdiri di ketinggian?
Dan ziarahmu, seperti yang mereka kata, kutabur-tabur bunga, entah di kubur siapa. Dan ziarahku, seperti yang mereka tahu, kubakar-bakar sabda, hangus oleh makna. Celaka, celakalah kata-kata.
Dan mereka, para murid itu, menaburi udara dengan lempengan doa. Dan lempengan itu melesat-lesat seperti sebuah benda yang saat disirami cahaya jadi berkilat dan yang ketika dipantulkan oleh dinding kaca seperti berbiak, membelah diri. Segalanya benderang. Malam jadi menganga. Dan setiap kilatan, setiap cahaya, mereka pandangi dengan takjub dan dengan keyakinan bahwa malam yang menganga dikarenakan masing-masing mereka. Kata yang seorang, "Beribu-ribu sajadah, berjuta-juta sajadah, telah kubentangkan sepenuh ruang sepanjang waktu, ya Allah."
Dan ziarahmu, "Hidup dari kuburku," entah kata siapa. Maka mereka tak keluar-keluar dari makna. Dan ziarahku, "Ramai dari senyapmu." Mereka pun diam, menyuruk ke bilik-bilik rahasia. Celaka, celakalah kata-kata.
Dari kota yang benderang, dari malam yang menganga, mereka sepakat: "Ia telah dekat," o, malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Dan masing-masing mereka memacu tunggangannya ke suatu arah. Arah tertentu, seperti kata ribuan buku telah begitu baku, dalam kepala mereka. "Ya, Guru," kata yang seorang, "inikah hari di mana alam memberikan berita-Nya? Lihatlah dadaku. Biru."
"Pedihku, Guru," kata murid lain, "telah bersatu segala rindu. Yaa ... kemuliaan."
"Putih tulangku, lihat Guru. Cinta kerohanian telah menghilangkan serat dagingku. Rinduuu ...!"
Dan angin mereka lihat badai, dan laut yang tenang bagi mereka gelombang. "Perhatikan!" Besi diasah, dan baja ditajamkan. Orang-orang mengirim lehernya ke pembantaian. "Kerjakan!" O, mesin jagal. Ajal yang berpentalan. Seperti yang kubaca, pada buku sejarah halaman sekian.
Dan saling rebut, mereka melompat ke nganga malam. Kebenderangan bagai menerkam dan mereka seperti tertelan ke kedalaman. Jauh di atas, atau mungkin jauh di belakang (atas dan belakang kini sama saja, tak ada bedanya), kota serupa terbakar. Menyala. Atau berkobar? Sama saja. Telah lenyap segala pembeda.
Dari ketertelanan, dari ketakberbedaan, mereka sepakat: “Inilah aku, yang akan datang lebih dulu.” Dan bagai kesurupan, serupa kesetanan, masing-masing mereka kian memacu tunggangan
.
Terus berpacu, makam yang keberapa? Tanggal sekian bulan sekian mereka diseberangkan dari satu kota ke lain kota. Sudah berapa tanda? Terus, sepanjang jalan kubus-kubus kaca baja ditancapkan. Mereka ngebut, dari satu kabel ke lain kabel. Sudah berapa angka? Sudah berapa nyawa?
Berhari-hari, berminggu-minggu mereka berpacu. Berbulan-bulan, bertahun-tahun mereka berpacu. Hanya berpacu. Serupa kesurupan. Seperti kesetanan. Ada air ada makanan tetapi mereka bagai tak haus juga tak lapar. Tak pernah mereka singgah. Ada halte ada stasiun tetapi mereka terus. Ada kehidupan ada kematian tetapi mereka ngebut di kesendirian.
Dari ketakpedulian, dari kesendirian, mereka sepakat
: Sesungguhnya kami telah menurunkan Alquran pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril, dengan izin Tuhannya, mengatur segala urusan.
Tetapi mereka terus – terus berpacu. Hanya berpacu. Berpuluh-puluh tahun. Beratus-ratus tahun. “Ya, Guru. Rinduuu ...!”
Begitulah. Dan Sang Guru hanya mengamati. Sampai kini, dengan rasa benci
.
Begitulah ia -- menemukan mangsanya. Kau lihat? Ia membelit dengan belitan paling celaka: Tidak menghancurkan daging meremukkan raga, tetapi menipu meluluhlantakkan iman menumpulkan jiwa.
Begitulah ia, berpuluh-puluh tahun, beratus-ratus tahun. Begitulah ia, beribu-ribu tahun, berjuta-juta tahun – mendesis dan menjalar. Ia, sang ular ....
Bagian 26
13 Februari 1970, Malam
Begitulah ia - menemukan mangsanya. Kau lihat? Ia membelit dengan belitan paling celaka: Tidak menghancurkan daging meremukkan raga, tetapi menipu meluluhlantakkan iman menumpulkan jiwa.
Begitulah ia, berpuluh-puluh tahun, beratus-ratus tahun. Begitulah ia, beribu-ribu tahun, berjuta-juta tahun – mendesis dan menjalar. Ia, sang ular ...
.
Aku tersentak. Aku tersentak dari mimpi yang sangat ganjil. Ular? Ya, ular. Tetapi bukan ular seperti ular sebenarnya di dunia nyata. Melainkan ular yang ... berpuluh-puluh tahun beratus-ratus tahun mendesis menjalar, menggoda manusia! Beribu-ribu tahun berjuta-juta tahun menjalar dan melata, menipu, membelit, menyesatkan manusia! Tubuhku basah. Berpeluh ....
Ular itu, dalam mimpiku, bagai samaran dari iblis. Samaran dari setan. Apakah benar? Mimpi yang memang sungguh ganjil. Karena, selain ular itu, atau kehadiran ular itu, didahului sebuah dunia yang menggambarkan kebencian seorang guru kepada murid-muridnya yang mencari malam Lailatulkadar, malam seribu bulan. Dan yang juga sangat ganjil, gambaran dunia itu datang dan masuk ke dalam mimpiku bagai sebuah cerita. Bagai sebuah bacaan! Bahkan aku, tidak seperti umumnya mimpi -- yang bagaimanapun jelasnya tetapi akan tetap samar – malah bisa mengingatnya seperti mengingat bacaan. Jadi ... sebenarnya, tadi itu, apakah aku bermimpi atau membaca? Ataukah sekaligus dua-duanya? Ah.
Lama aku terduduk, terpana. Ya, memang sungguh ganjil. Bahkan ... astaghfirullah! ... ya Allah -- kupejamkan mata. Kini, saat ini, saat bangun dan menutup mata ini, bagai ada tulisan, bagai ada bacaan dalam ruang gelap pandanganku! Bacaan itu ... sepertinya bagian lebih awal dari bacaan dalam mimpiku, dan menceritakan tentang perempuan bernama Rabiah. Bacaan itu, tulisan itu ... Sang Musafir, yang tak seorang pun kenal namanya, merasa heran dan takjub. Ia tak menyangka akan bertemu dengan perempuan agung yang syair-syairnya telah menjadi napas dalam hidupnya. Dan yang lebih membuatnya heran, Rabiah menangkupkan tangan ke wajah, pundaknya bergetar turun-naik.
"Wahai perempuan mulia," Sang Musafir tak mampu menahan diri, "kesedihan seperti apakah yang bisa meneteskan air dari matamu?"
Rabiah mengangkat wajah. Mata dan pipi dan tangannya basah, tetapi lelehan air itu seperti cahaya. Kemilau. "Aku tak menangis karena diriku, ya Pengembara. Aku sedih karena mereka, saudara-saudaraku, memanggul jasadnya begitu lama. Tahukah engkau bahwa tak ada serat yang begitu beratnya kecuali daging? Bertahun-tahun, berabad-abad, terus aku berdoa. Bertahun-tahun, berabad-abad, terus aku meminta: agar Ia mengizinkan aku -- masuk ke tubuh mereka."....
... Sang Bilal tertegun karena pesona. Tanpa sadar, kakinya melangkah mendekati perempuan itu, tetapi terhenti oleh suara, lembut, menjalar hening ke telinganya. Lama ia terpaku, sampai kemudian Sang Bilal sadar suara itu berasal dari Si Perempuan. Meski lebih lima puluh langkah, suara itu bagai begitu dekat di pangkal telinga, jelas sekali bagi Sang Bilal.
"... Wahai Tuhanku, jangan jadikan daku kelewang di tangan penakluk perkasa. Jelmakan daku jadi tongkat kecil penunjuk jalan si orang buta .... Wahai Tuhanku, jangan jadikan daku pohon besar yang kelak jadi tombak dan gada peperangan. Jelmakan daku jadi batang kayu rimbun di tepi jalan, tempat musafir berteduh memijit kakinya yang lelah .... Wahai Tuhanku, apa pun juga bahagian dari dunia kini yang akan Kau anugerahkan kepadaku, anugerahkanlah itu kepada musuh-musuh-Mu. Dan apa pun juga bahagian dari dunia akan tiba yang akan Kau anugerahkan kepadaku, anugerahkanlah itu kepada sahabat-sahabat-Mu ...."
Sang Bilal tersentak, bangun dari tidurnya. Kalimat-kalimat itu, sejak bertahun-tahun lalu, sudah ada dalam dirinya. Apakah ia telah bertemu dengan Rabiah? ...
.
Kubuka mata. Tubuhku semakin basah. Semakin berpeluh. Ya, Allah ... sungguh ini sangat ganjil. Sangat ganjil... .
Aku beristigfar. Lama. Apakah maksud mimpi ini? Apakah maksud bacaan itu? Rabiah, Sang Guru, murid-muridnya, munculnya sang ular ... ah, kututup mata. Bisakah aku kembali membacanya? Oh, bisa! Kuulangi membaca dari pertama. Dari seorang musafir yang menggelar tikar di Maamura, empat ratus tahun lalu itu.
Setelah kuulang dan kuulangi lagi, aku hanya tahu bahwa bagian terakhir cerita menggambarkan bagaimana inginnya sekelompok murid memperoleh malam yang mulia: malam lailatulkadar, malam seribu bulan. Tetapi, di bagian penutup, guru mereka merasa benci. Kenapa guru mereka benci?
Kuulang dan kuulangi lagi. Tetapi tetap aku tak paham. Kuulangi lagi. Dan mataku tertumpu pada:
... "Inilah aku, yang akan datang lebih dulu.” Dan bagai kesurupan, serupa kesetanan, masing-masing mereka kian memacu tunggangan .... Berhari-hari, berminggu-minggu mereka berpacu. Berbulan-bulan, bertahun-tahun mereka berpacu. Hanya berpacu. Serupa kesurupan. Seperti kesetanan. Ada air ada makanan, tetapi mereka bagai tak haus juga tak lapar. Tak pernah mereka singgah. Ada halte ada stasiun, tetapi mereka terus. Ada kehidupan ada kematian, tetapi mereka ngebut di kesendirian ....
Tidakkah bagian ini menggambarkan bahwa, murid-murid itu ternyata sangat egois? Demi dan untuk diri mereka, mereka bahkan tak peduli pada apa pun. Ada kehidupan ada kematian tetapi mereka ngebut di kesendirian. Di kesendirian. Murid-murid itu a-sosial. Mereka tak mementingkan hubungan antarmanusia. Bahkan sebelumnya disebutkan pula bagai kesurupan serupa kesetanan.
Apakah dugaanku benar? Hal itukah yang membuat Sang Guru menjadi benci? Dan tiba-tiba aku mulai bisa melihat dan paham. Dan, tiba-tiba aku mengerti apa hubungannya dengan Rabiah di bagian-bagian awal. Kubaca kembali bagian itu. Doa Rabiah:
... Wahai Tuhanku, apa pun juga bahagian dari dunia kini yang akan Kau anugerahkan kepadaku, anugerahkanlah itu kepada musuh-musuh-Mu. Dan apa pun juga bahagian dari dunia akan tiba yang akan Kau anugerahkan kepadaku, anugerahkanlah itu kepada sahabat-sahabat-Mu ...."
Wahai Tuhanku, sesudah daku mati masukkanlah daku ke neraka dan jadikan jasmaniku memenuhi seluruh ruang neraka sehingga tak ada orang lain dapat dimasukkan ke sana Wahai Tuhanku, bilamana daku menyembah-Mu karena takut neraka jadikan neraka kediamanku dan bilamana daku menyembah-Mu karena gairah nikmat surga maka tutupkan pintu surga selamanya bagiku
Bagian 27
Wahai Tuhanku, sesudah daku mati masukkanlah daku ke neraka dan jadikan jasmaniku memenuhi seluruh ruang neraka sehingga tak ada orang lain dapat dimasukkan ke sana
Wahai Tuhanku, bilamana daku menyembah-Mu karena takut neraka jadikan neraka kediamanku dan bilamana daku menyembah-Mu karena gairah nikmat surga maka tutupkan pintu surga selamanya bagiku
Sungguh doa yang agung. Doa yang tulus. Rabiah, siapakah ia? Dari cerita itu, dari bacaan itu, tentulah perempuan itu seorang yang, karena kalimat-kalimatnya, jadi sangat dihormati di masa lalu. Ya. Mungkin seperti Fakhrudin Iraqi atau Ibnu Atha atau Jalaluddin Rumi atau Fazil yang kalimat-kalimatnya dikutip oleh Guru Muqri. Guru Muqri? Astaghfirullah! Cerita, bacaan, tidakkah itu “pola” ajaran Guru Muqri?
Buru-buru, kuambil gulungan yang menyerupai pipa itu. Dengan hati-hati, dan berdebar, kutarik gulungan kertas dari dalamnya. Dua lembar. Kubuka. Kubaca lembar pertama:
Tuan Janir,
Ini cerita pertama dari tiga cerita yang saya janjikan. Cerita kedua dan ketiga, insya Allah, akan Tuan terima di Masjidil Rasul. Saya berikan cerita pertama ini sekarang, karena saya ingin Tuan membacanya sebelum berhaji di Arafah.
Saya tahu Tuan akan kembali tahun ini. Saya senang.
Hanya itu isinya. Rupanya semacam surat. Kugulung lembaran pertama itu, dan beralih ke lembar kedua. Dan oh, ya Allah! Hanya satu kalimat isinya! Dan gemetar ... dan gemetar aku membaca:
Rabiah, Sang Guru, murid-muridnya, ular, Tuan sudah membacanya, bukan? Pertemuan yang Paling Tua.
14 Februari 1970
Mataku nyaris ternganga, nyaris tetap terbuka, sampai pagi ini. Betapa tidak? Segala yang kualami tadi malam sungguh luar biasa, dan menumbuhkan banyak pertanyaan, juga kesadaran, dalam diriku.
Seharusnya, sejak menerima gulungan kertas itu kemarin dari seseorang yang kemudian bagai menghilang begitu saja, aku menyadari ada hal yang aneh. Bahkan mungkin bukan kemarin, melainkan sejak haji tahun lalu ketika pertama bertemu dengan Guru Muqri yang saat itu juga bagai muncul begitu saja. Lalu fasal tentang keindahan yang tak kupahami tetapi tetap menempel ganjil di kepalaku. Kemudian keberuntungan-keberuntungan yang seolah datang secara kebetulan. Lalu ... ya, seekor ular yang tiba-tiba muncul di tiang bendera menggantikan Merah-Putih waktu itu. Dan, tidakkah setelahnya, ular itu bagai terus mengikutiku? Betapa, betapa kini aku mulai tahu tentang sesuatu yang tak beres, sesuatu yang selalu muncul mengganggu, di dalam diriku. Mimpi, atau bacaan (ah, aku masih bingung harus menamakannya apa), tadi malam, telah menunjukkan dan mengajarkan banyak hal kepadaku. Doa Rabiah itu, sungguh mengesankan. Betapa tulusnya, betapa membuat diriku tiba-tiba jadi begitu rendah. Kuingat doa-doaku yang lalu, tidakkah juga kesetanan dengan diriku? Kuingat masa-masaku yang lalu, tidakkah juga sebenarnya a-sosial dan egois? Dan ular itu, ular itu ... bukan tak ada artinya kalau ia memang mengikutiku. Di sebelah, atau di bagian, mana dirikukah ia kini tengah bergelung?
Ah, aku mengerti, aku mengerti kenapa Guru Muqri memberikan cerita itu kepadaku sebelum ber-haji; sebelum wuquf di Arafah.
Ah, Guru Muqri, Guru Muqri, betulkah aku bisa bertemu dengannya nanti di Masjidil Rasul? Akan bagaimanakah sikapku?
Ah, yang jelas, aku semakin rindu padanya. Muqri Abdur Rauf al-Madani. Selain harus lebih banyak belajar dan bertanya kepadanya, aku juga harus bertanya kepada orang atau Syekh lain tentang siapa sebenarnya Guru Muqri. Di Raudah itu, di Masjidil Rasul, pastilah banyak Syekh yang bisa kujadikan tempat bertanya. Tiba-tiba aku juga ingat kalimatnya: Saya tahu Tuan akan kembali tahun ini. Betapa sebenarnya ia telah berada di tingkat (tepatkah kugunakan kata tingkat? Ataukah mungkin lebih tepat dikatakan derajat?) yang lebih tinggi. Betapa, betapa Allah telah memberinya mukjizat.
Aku melangkah ... berjalan ke jendela. Kurasa kini aku melihat dunia dengan mata berbeda. Lebih jernih. Lebih lapang lebih lega.
Pukul 09.00 kini. Sejak selesai Subuh, jalan-jalan telah dipenuhi manusia. Manusia, manusia ... menuju tempat yang sama dengan tujuan yang sama.
Bagian 28
BIS terus berjalan, talbiyah terus kami gemakan, dan kemah-kemah itu tampak bertambah ramai dengan berbagai bendera dari berbagai bangsa. Bendera terbanyak, kulihat, adalah bendera berlambang bulan bintang dengan dasar merah. Itulah bendera Turki, negara yang paling banyak mengirimkan jemaah tahun ini.
Setelah berbelok-belok (kalau tak ada bendera yang menandai, pastilah akan sangat membingungkan dan membuat siapa pun orang bakal tersesat), kami pun sampai di perkemahan kami yang besar. Dari jauh, telah tampak Merah-Putih menjulang berkibar-kibar.
Bismillah .... Tempat aku berhenti tahun lalu, kini kembali aku datangi. Siapa yang akan menyangka? Siapa yang akan menduga? Inilah Arafah, tempat kami bermalam malam ini. Inilah Arafah, tempat kami mengerjakan wukuf esok hari.
Ke mana pun mata memandang, hanya kemah, kemah, dan kemah. Kalau tak ada kemah-kemah ini, maka tinggallah hanya bentangan padang. Padang Arafah. Padang tempat bertemunya Adam dan Hawa setelah "terlempar" ke bumi. Dan inilah kini, kami, anak cucu Adam dan Hawa "bertemu-temu" -- dari seluruh dunia. Mengulangi adegan pertemuan pertama antara dua manusia. Tidakkah pertemuan antara mereka itu pertemuan paling tua?
Tak lama kemudian, kami telah berada di dalam kemah. Kemah masing-masing, yang telah diatur dan ditentukan oleh Syekh.
Sore, senja, dan kemudian malam datang dengan indah. Langit cerah, penuh bintang, berkelap-kelip bagai kunang-kunang. Adakah kunang-kunang di Arafah? Adakah kunang-kunang di Mekkah? Entahlah. Bulan yang berumur sembilan hari, tampak seperti besi panas -- berbentuk sabit -- yang baru ditempa. Merah pindar berkilauan. Kukira, tak ada malam sebersih ini. Tak pernah langit secerah ini.
Di bawah bulan, di bawah bintang-bintang, di tengah padang pasir yang luas, di situlah aku membaringkan tubuh. Ingat Ibu (ah, lagi-lagi!), ingat Mak Nuan, ingat Ayah, ingat Kakak, ingat Datuk, ingat kembali pada Guru Muqri. Sungguh dunia ini memang rahasia. Manusia dihubungkan dengan nasib, dengan takdirnya sendiri-sendiri.
Kubayangkan Adam. Kubayangkan Hawa. Andai "buah larangan" itu tak ada, andai kesalahan itu tak mereka lakukan, bagaimanakah sejarah manusia jadi meng-ada? Ya, Tuhan Mahabesar. Ia mulai contoh perjalanan dunia dari kekeliruan, agar manusia senantiasa berjuang mencari kebenaran.
Ketika manusia hanya sepasang, saat manusia hanya dua orang, alangkah sunyi rasa berpisah. Arafah -- lebih kecil lagi Jabal Rahmah -- benar-benar hanya debu dalam jagat raya. Sebesar debu itu pulalah kesempatan untuk berjumpa. Ya, Tuhan Mahabesar. Allah Mahapengasih.
"Walaqod karramna banii aadam -- Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-cucu Adam."
"Wahamalnahumfilbarriwalbahr--Dankamimudahkanmerekaberjalandidaratdandilaut."
"Warazaqnahum minat thoiyyibaat -- Dan kami beri mereka rezeki yang baik."
"Wafadholnahum ala katsirim mimman chalaqna tafdhila -- Dan kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang telah kami jadikan dengan sebenar-benarnya kelebihan."
Udara mulai berangsur dingin. Aku melangkah ke kemah. Kami kini bagai kurcaci di bawah kerucut jamur yang aneh.
Aku duduk membaca hamdallah, takbir, tahlil, dan Al-Quran buku kecil. Ibu (lagi-lagi!), Ayah, Mak Nuan, Kakak. Ah, kualihkan pikiran dengan memperhatikan jemaah lain. Siapa menduga mujahid-mujahid Gambela ini, akhirnya, bisa juga sampai di sini? Tuhan Mahabesar. Lihatlah, mereka khusyuk berhadap-hadapan dengan-Nya. Istighfar dan istighfar, memuja asma-Nya.
Saat di larut malam aku berkeliling mengontrol para mujahid ini ke kemah mereka masing-masing, mereka tidur dengan wajah sangat tenang dan indah. Mereka pulas, seperti pulasnya seorang musafir yang berhari-hari berjalan di panas terik, kemudian menemukan sebatang pohon yang sangat rindang, dan angin bertiup, sepoi, lalu tertidur. Aku ingat, seperti ini pulalah pulasnya mereka ketika malam pertama di Gambela.
Di angkasa, langit semakin cerah. Bulan dan bintang-bintang, saking cerahnya langit, bagai bisa kubedakan jauh dekatnya. Bahkan bahwa bumi ini bulat, malam ini, seolah bagai terasa ....
Meraung
15 Februari 1970
Dini hari, para jemaah telah kembali bangun. Beberapa orang malah telah keluar dari tenda dan berjalan menuju lapangan luas di tengah-tengah tumpukan kemah. Di sanalah kami duduk, tertib, bersaf-saf, menahan dingin dan gigil, menunggu masuknya waktu Subuh.
Kian dekat ke masuknya waktu, lapangan itu semakin ramai. Dan ketika Said asyik mengumandangkan azan, seluruh isi kemah telah berpindah ke lapangan, membuat lapangan yang semula lengang menjadi penuh oleh manusia.
Sungguh merdu suara Said subuh ini. Lantang, meliuk bergelombang, bagai menyelusup ke tenda-tenda. Sayup, dari kemah rombongan lain, terdengar pula lantunan yang sama. Azan menggema dari tiap negara. Berbaku-balas dalam suatu variasi koor. Memenuhi angkasa Arafah, dan menjalar ke kejauhan.
Setelah qamat, kami pun merapatkan saf mendirikan salat Subuh, dipimpin oleh imam kami Mawardi Noor yang beberapa jam lagi akan menjadi haji. Ya, Al hajju Arofah, ucap Rasulullah. Haji itu di Arafah, beliau mengatakan. Tentu saja setelah kami selesai mengerjakan wukuf, nanti, sejak dari matahari tergelincir sampai matahari terbenam.
Selesai salat Subuh, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mekkah dan Madinah yang bergabung sejak Gambela merapat, berganti-ganti memberikan kuliah dan petunjuk tentang praktek ibadah selanjutnya yang akan kami kerjakan hari ini, besok, dan lusa. Cara mereka memberikan ceramah sangat menarik, mudah dimengerti. Amat berbeda dibanding tuntunan para Syekh yang kadang membuat beberapa jemaah kelihatan ragu dan bertanya-tanya.
Hawa dingin di badan, perlahan-lahan, mulai diusir oleh panas sinar matahari. Ketika sarapan pagi masuk ke perut kami, keringat mulai keluar dari tubuh, berbintik-bintik, tetapi kemudian kembali dikering-dijilati cahaya matahari.
Bumi berputar dari barat – maka orang menyebut cahaya matahari beringsut, bergerak atau beranjak dari timur. Dan ketika Raja Siang itu benar-benar persis telah tegak lurus di kepala, maka saat yang kami nanti pun segera tiba. Wahai, dada siapakah yang takkan gemuruh – seperti beduk?
Bagian 29
HAWA dingin di badan, perlahan-lahan, mulai diusir oleh panas sinar matahari. Ketika sarapan pagi masuk ke perut kami, keringat mulai keluar dari tubuh, berbintik-bintik, tetapi kemudian kembali dikering-dijilati cahaya matahari.
Bumi berputar dari barat --maka orang menyebut cahaya matahari beringsut, bergerak atau beranjak dari timur. Dan ketika Raja Siang itu benar-benar persis telah tegak lurus di kepala, maka saat yang kami nanti pun segera tiba. Wahai, dada siapakah yang takkan gemuruh -- seperti beduk?
Azan zuhur, salat zuhur dan asar jamak takdim ... lalu seperti semut, orang-orang keluar dari tenda; memutih di Padang Arafah. Rukuk, sujud, istigfar, takbir, tahmid, berdoa, bermunajat kepada Allah. Kata Nabi, Sebaik-baiknya doa, adalah doa di Arafah.
Seperti ada gamitan di pundak, dan aku pun ingat pada Guru Muqri. Ingat pada mimpi-cerita (yah, kusebut saja begitu) yang ia berikan, dan merasa malu kalau-kalau aku memang seorang murid egois, "rakus", dan kesetanan. Doa apakah sebaiknya yang kupanjatkan? Aku, kini, jadi menimbang-nimbang. Sungguh aku bagai dipermalukan oleh doa Rabiah itu. Walau tanpa menutup mata, kini aku bisa mengingatnya:
"Wahai Tuhanku, jangan jadikan aku kelewang di tangan penakluk perkasa. Jelmakan aku jadi tongkat kecil penunjuk jalan si orang buta.
Wahai Tuhanku, jangan jadikan aku pohon besar yang kelak jadi tombak dan gada peperangan. Jelmakan aku jadi batang kayu rimbun di tepi jalan, tempat musafir berteduh memijit kakinya yang lelah.
Wahai Tuhanku, apa pun juga bagian dari dunia kini yang akan Kau anugerahkan kepadaku, anugerahkanlah itu kepada musuh-musuh-Mu. Dan apa pun juga bagian dari dunia akan tiba yang akan Kau anugerahkan kepadaku, anugerahkanlah itu kepada sahabat-sahabat-Mu.
Wahai Tuhanku, sesudah aku mati masukkanlah aku ke neraka. Dan jadikan jasmaniku memenuhi ruang neraka, sehingga tak ada orang lain dapat dimasukkan ke sana.
Wahai Tuhanku, bilamana aku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikan neraka kediamanku. Dan bilamana aku menyembah-Mu karena gairah nikmat surga, maka tutupkan pintu surga selamanya bagiku.
Sungguh indah. Apakah doa itu bisa kupanjatkan hari ini sebagai doaku? Tetapi ... ah, aku merasa tak pantas. Aku merasa doa itu terlalu "tinggi" buatku. Apakah aku bisa dan benar-benar rela masuk neraka, memenuhi segenap ruangnya, agar tak ada orang lain dimasukkan ke sana? Dan lalu, segala amal dan ibadah yang telah kuperbuat, apakah memang tidak dengan niat agar aku dimasukkan-Nya ke surga?
Guru Muqri. Guru Muqri. Agaknya aku, memang, seorang yang masih rendah. Hakikat dari doa itu membuatku sadar, bahwa untuk segala yang bernama ibadah, manusia rela jadi apa pun bahkan walau menjadi tiada. Apakah aku bisa, dan telah siap, menjadi seorang yang tak ada?
Yang ada hanya Allah. Yang ada hanya Allah.. Ya Tuhan ... pikiran yang mendadak ini membuatku tak mampu untuk berdoa! Tiba-tiba aku meraung. Meraung dan menjerit.
"Pak janir ...?!"
Aku menjerit. Menjerit dan menangis.
"Pak janir ...?"
Tiba-tiba aku tersadar. Pak Thayeb telah bersimpuh di sebelahku, mengguncang-guncang pundakku. Matanya bertanya-tanya. Aku segera menguasai diri. Menelan tangis dan menggeleng-gelengkan kepala, memberi jawab dan isyarat kepada Pak Thayeb bahwa aku tak apa-apa.
Kuusap mata. Kerongkonganku serasa masih terselak. Ya Tuhan ... apakah telah Kau takdirkan aku tak memiliki doa pada saat yang sangat berkah ini? Guru Muqri. Guru Muqri. Apakah kau memang ingin agar aku tiba-tiba merasa tiada, dan yang ada itu hanya Ia -- Yang Mahasatu -- sehingga aku tak pantas meminta sesuatu bagi diriku yang sebenarnya hanya tak ada ini?
Ya Allah, aku kembalikan semua pada-Mu. Kuserahkan diri pada penilaian-Mu.
Ya Allah, Engkau Mahatahu siapa aku. Engkau Mahatahu bagaimana aku.
Dan akhirnya aku hanya istigfar: mohon ampun atas dosa-dosa yang telah kubuat, sengaja ataupun tidak.
Dan, tiba-tiba, entah kenapa, aku merasa sangat lega.
Lega.
Ya.
Matahari ... kini telah jauh miring. Sebagian jemaah masih bersila, masih duduk tafakur, sementara sebagian yang lain telah beranjak, berjalan menuju Jabal Rahmah. Bersama Pak Thayeb, aku turut melangkahkan kaki ke bukit tempat bertemunya nenek kami Adam dan Hawa itu.
Sampai ke puncak bukit, manusia -- putih, putih, putih -- bergerak seperti semut. Dibandingkan dengan saudara-saudara kami dari Afrika, kami memang kalah tenaga. Tetapi, badan kami yang kecil ternyata memberikan kemudahan lain. Kami bisa menyelinap dan menyelip-nyelip di antara mereka yang tinggi-tinggi dan besar, sehingga akhirnya berhasil mencapai tonggak putih yang kami tuju.
Ayat Alquran, surat terakhir yang diterima Rasulullah pada saat Haji Wadak, terlukis jelas pada tonggak:
Al yauma akmaltu lakum dinakum, wa atmamtu alaikum niakmati, wa radithu lakumul islama dina -- Hari ini Aku telah sempurnakan kepadamu agamamu, dan Aku telah cukupkan atasmu nikmat-Ku, dan Aku telah rida Islam itu sebagai agamamu.
Sesaat setelah ayat itu turun, Nabi Muhammad SAW sadar bahwa tugasnya hampir selesai. Ia pun berkhotbah di atas untanya yang bernama Al-Qaswa di hadapan seratus empat puluh ribu umatnya yang sedang melakukan haji.
Saat ayat terakhir itu beliau sampaikan, umatnya kegirangan. Agama Islam telah sempurna, dan Allah telah meridhainya. Tetapi ada seorang yang menangis: Abu Bakar. Orang tua dan sahabat yang arif ini mengerti, bahwa apabila Islam telah lengkap maka pembawanya akan diambil oleh Allah. Artinya, ia akan berpisah dengan sahabat dan junjungannya yang tercinta.
Bagian 30
AYAT Alquran, surat terakhir yang diterima Rasulullah pada saat Haji Wadak, terlukis jelas pada tonggak:
Al yauma akmaltu lakum dinakum, wa atmamtu alaikum niakmati, wa radithu lakumul islama dina – Hari ini Aku telah sempurnakan kepadamu agamamu, dan Aku telah cukupkan atasmu nikmat-Ku, dan Aku telah rida Islam itu sebagai agamamu.
Sesaat setelah ayat itu turun, Nabi Muhammad SAW sadar bahwa tugasnya hampir selesai. Ia pun berkhotbah di atas untanya yang bernama Al-Qaswa di hadapan seratus empat puluh ribu umatnya yang sedang melakukan haji.
Saat ayat terakhir itu beliau sampaikan, umatnya kegirangan. Agama Islam telah sempurna, dan Allah telah meridainya. Tetapi ada seorang yang menangis: Abu Bakar. Orang tua dan sahabat yang arif ini mengerti, bahwa apabila Islam telah lengkap maka pembawanya akan diambil oleh Allah. Artinya, ia akan berpisah dengan sahabat dan junjungannya yang tercinta.
Membayangkan peristiwa itu kini, di sini, 14 abad kemudian, aku terpaku. Aku baru tersadar ketika Pak Thayeb menggamitku, mengajak kembali. Perlahan-lahan kami menuruni Jabal Rahmah yang penuh sejarah. Bertemunya Adam dan Hawa, turunnya ayat terakhir, dan o ya, satu lagi hampir kulupa, adalah juga tempat kembali bertemunya Nabi Ibrahim AS dengan istrinya Siti Hajar setelah Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya bertahun-tahun lamanya.
Nabi Ibrahim, setelah ia memperoleh seorang putra dari istrinya Sarah, dengan perasaan penuh sesal datang ke Makkah mencari Siti Hajar dan anaknya Ismail. Dengan penuh haru, di Arafah inilah mereka kembali bertemu. Tetapi baru saja mereka berjumpa, Allah telah menurunkan perintah kepada Ibrahim agar ia menyembelih Ismail. Bagaimanakah perasaan mereka saat itu?
Memang banyak peristiwa hebat terjadi di sini. Itu pulakah sebabnya Nabi mengatakan al hajju Arofah – haji itu di Arafah? Dan itu terjadi, seperti yang telah kukatakan, tentu setelah mengerjakan wukuf. Kenapa setelah wukuf? Entahlah. Sampai saat ini aku belum pernah menemukan hadis atau petunjuk (atau lebih tepat, akulah si pemalas) dari buku mana pun tentang itu. Ataukah karena pada wukuflah kita diberi kesempatan, waktu yang sangat berkah, untuk tafakur, merenungkan badan diri?
Pikiran-pikiran ini, sebetulnya, membuatku enggan untuk segera meninggalkan Arafah. Tetapi matahari hampir terbenam, dan kami harus segera berangkat mengerjakan ibadah berikutnya: mengambil batu dan bermalam di Muzdhalifah.
Pak Thayeb menarikku agar berjalan lebih cepat. Sebagian besar kemah sudah dibongkar. Dari radio terdengar pengumuman tentang nama-nama jemaah yang tersesat dan nama-nama Syekh yang harus mengambil jemaahnya yang tersesat itu ke Wizaratul Hajji – Kantor Jawatan Haji.
Tidakkah kami bakal tersesat pula? Memang alangkah susahnya mengenali jalan kembali. Karena bentuk jalannya sama, bentuk kemahnya sama, warna kemahnya sama.
Dan ternyata kami memang ikut tersesat.
Tetapi untunglah tidak lama. Aku memejamkan mata dan mengira-ngira. Begitu pula Pak Thayeb, berulang-ulang ia melayangkan pandang ke Jabal Rahmah lalu membikin arah dengan telunjuknya ke kemah-kemah. Dan kemudian, kami melangkah ke suatu arah yang kami yakini.
Kami akhirnya memang sampai ke kemah, tetapi merasa ragu juga. Karena kiranya kemah kami sudah tak ada. Sudah dibongkar. Dan jemaah kami, dengan tekun, duduk tafakur di atas hambal-hambal mereka.
Selang beberapa ketika, bis-bis kami telah kembali datang. Kami pun segera berkemas-kemas. Di bawah langit biru dengan sabit bulan dan berjuta-juta bintang seperti malam kemarin, kami bergerak meninggalkan Arafah. Perlahan-lahan.
Menjelang tengah malam, kami tiba di Muzdhalifah. Kami turun ke pinggir jalan, berjongkok mencari dan mengumpulkan batu-batu kecil sebesar kelingking.
Setelah mengantongi batu-batu, kami merebahkan tubuh beralaskan padang pasir. Berbaring. Walaupun tertidur hanya beberapa saat, syarat peribadatan telah terpenuhi. Bis kami kembali bergerak setelah lewat tengah malam.
16 Februari 1970
Hari ini kami salat Subuh di kediaman Syekh. Begitu selesai, rangkaian ibadah berikutnya sudah harus kami lakukan.
Sebuah batu besar, di tengah-tengah pintu masuk kota Mina dari Makkah, jadi tujuan kami pagi ini. Batu besar itu, Jumratul Aqabah, adalah pelambang Setan Besar (ingatanku berkelebat tiba-tiba: ular itu!) yang mengganggu Nabi Ibrahim dalam perjalanannya ke Mekah – setelah bertemu Siti Hajar – melaksanakan perintah Allah menyembelih Ismail. O, anak yang baru dilihat. Anak yang baru dikenal. “Tegakah engkau menyembelihnya, wahai Ibrahim?” goda Si Setan.
Tetapi Ibrahim lebih kuat dari moyangnya, Adam. Ibrahim tak peduli. Dipungutnya batu, lalu dilemparinya Si Setan tujuh kali. “Pergilah engkau! Hanya Allah yang aku dengar,” kata Ibrahim.
Dan kini, pagi ini, kami kembali mengulangi laku Ibrahim: melempari Jumratul Aqabah, dengan batu-batu kecil yang kami pungut tadi malam. Lihatlah manusia ini, jemaah ini, mereka merangsek ke Jumratul Aqabah seperti pemandangan kemarin, bagai semut-semut putih yang merayap naik ke Jabal Rahmah. Ribuan. Berapa puluh juta batukah setiap tahun yang dilemparkan oleh jemaah? Berapa puluh juta batukah setiap tahun berpindah ke tempat ini dari Muzdhalifah?
Selesai melontar Jumratul Aqabah, Pak Roosdi mengeluarkan gunting kecil dari saku ikat pinggangnya, dan ia memintaku menggunting rambutnya untuk tahalul.
Kemudian kami naik kendaraan kembali ke barat, menempuh jarak sekitar lima kilometer, dan langsung ke Masjidil Haram untuk tawaf Ifadhah. Tak kusangka, Mekah dan Masjidil Haram yang kubayangkan sepi – karena jemaah masih berada di Mina – ternyata sebaliknya. Kiranya para jemaah sama-sama ingin secepatnya melakukan tawaf Ifadhah di Baitullah.
Bagian 31
TERBAYANG bagaimana Ibu dan Mak Nuan (juga kadang Ayah bila Ayah tak salat Idul Adha di lapangan kampung ibunya), setelah salat, menyaksikan darah binatang kurban mengucur dan mengalir di halaman surau. Ah ....
Sepulang salat, setibanya di kediaman Syekh, Pak Zukroni menarik tanganku. Kami berganti-ganti mencukur, sesuai dengan sunah Nabi. Rambutku, kumisku, hari ini bersih – kutanam di Tanah Haram.
Bu Zukroni yang tadi diam-diam turun ke bawah, kembali muncul ke lantai atas membawa dan menyuguhkan makanan. Makanan istimewa di hari ini, hari raya kami, ayam panggang yang bulat untuk tiga orang.
Perut yang kosong sejak kemarin sore, dan sepanjang malam beribadah pada tempat yang berpindah-pindah dan kini disuguhi ayam panggang dengan nasi putih yang asapnya masih mengepul, sungguh sangat sukar untuk ditolak.
Kuucapkan terima kasih, tersenyum seraya mendengar Pak Zukroni berkata, “Fabiayyi aalaai rabbikuma tukazzabiaan – Maka nikmat Tuhan manakah yang hendak kamu dustakan?”
Ingin Menulis
16 Februari 1970, Siang
Entah untuk dirinya, entah untuk istrinya atau entah untukku yang duduk di samping kanannya, Pak Zukroni menggumamkan tanya, “Berapakah besarnya kota Mina?” Aku jadi ikut mengira. Kalau pertanyaan itu ditujukan untukku, memang, akan susah bagiku menjawabnya. Di luar musim haji, sepanjang tahun, kota ini hanya didiami oleh dua ratus sampai tiga ratus manusia. Tetapi di musim haji, dua juta umat – bahkan lebih – bisa ditampungnya.
Kami tengah berada dalam bis yang membawa kami kembali ke kota ini, Mina, sesudah zuhur. Pakaian kami telah berganti. Dan lihatlah pula ke mana-mana. Seluruh jemaah, dari berbagai bangsa, beragam warna kulit, dan bermacam bahasa, mengenakan pakaian baru-baru, bersih, aneka warna, merayakan hari kemenangan di hari ini.
Dari radio Shoutul Arab, terdengar takbir yang tak putus-putus menggema ke udara Mina. Sampai senja, kami berkenal-kenalan, bersalam-salaman, dengan jemaah lain dari berbagai negara. Dan malamnya, kami berjalan-jalan menjelajahi Mina. Kemah-kemah putih terang, lampu-lampu yang bagai berdenyar berpendar menyilaukan, gedung-gedung dan hotel-hotel tinggi megah dengan gadis-gadis Arab yang menyala di jalan-jalan dalam cadar hitam tak kelihatan, memperindah dan menyegarkan mata di kota tempat peristirahatan selama tiga malam.
Bagiku, Mina di malam ini, tak begitu berbeda dibanding malam pertama Mina tahun lalu. Aku masih ingat, bersama Zakir dan Nifdil Malik sesama jemaah muda, kami menikmati ayam panggang yang diputar dalam mesin pemutar. Dimakan dengan tomat dan daun selada dengan roti yang panjang seperti tongkat rotan. Selesai itu, kami kembali berjalan-jalan memasuki gang-gang, memasuki lorong-lorong ramai, untuk kemudian kembali ke kemah dan akhirnya terbaring kelelahan.
Besoknya, juga sesudah zuhur, kami kembali mengambil dua puluh satu biji kerikil ke Muzdhalifah untuk melempar Jumratul Ula (Setan Kecil), Jumratul Wustha (Setan Menengah), dan Si Setan Besar Jumratul Aqabah, masing-masingnya tujuh buah batu secara berurutan. Ramainya lebih dari kemarin. Dan dalam waktu tak cukup satu jam, ibadah hari ini telah selesai. Apakah yang bisa kami lakukan dua puluh empat jam mendatang – sebelum kembali melontar ketiga jumrah sesudah zuhur besok?
Selama tiga hari di Mina, sebetulnya, memang banyak waktu sisa. Karena telah berpengalaman tahun kemarin, aku membawa beberapa buku yang sekiranya dapat kubaca. Tetapi ternyata aku bukan membaca. Melainkan membeli sebuah buku tulis dan entah kenapa jadi sangat ingin menulis.
Aku sendiri heran, kenapa tiba-tiba ada keinginan menulis dalam diriku. Dan anehnya lagi, aku juga tak tahu akan menulis apa. Setelah kupikir-pikir di kemah, aku menduga keinginan itu timbul karena pengalaman beberapa hari ini dan ketakjuban, keterpesonaan yang begitu hebat, kepada Guru Muqri. Bukankah suri ajarannya kuterima melalui perumpamaan berupa puisi, riwayat, atau cerita?
Tetapi menulis itu ternyata tak mudah. Tetapi ketakmudahan itu mungkin pula dikarenakan aku belum sepenuhnya yakin akan menulis tentang apa. Sampai sore, sampai senja, belum satu pun kata atau kalimat yang pindah ke bukuku. Tiba-tiba berkelebat pikiran, apakah tidak sebaiknya aku mencoba menulis tentang pengalaman-pengalaman ganjil yang mencengangkan itu? Tetapi ah, akan sukar untuk menuliskannya, menjelaskannya. Lagi pula, seperti yang kukatakan, aku lebih tertarik tentang butir-butir pikiran, suri-suri ajaran, seperti yang disampaikan oleh Guru Muqri. Atau setidaknya berupa hikmah, hal-hal penting yang bisa dicatat dari pengalaman. Ya, seperti ketika tak bisa berdoa di Arafah itu, misalnya.
Untuk kembali menyegarkan pikiran agar bisa menulis, selesai makan malam, aku berjalan-jalan sebentar. Tetapi sekali lagi, menulis itu ternyata memang tak mudah. Setelah kembali ke kemah dan berhadapan dengan buku tulis sampai jauh malam, bukan hal-hal kumaksudkan yang ternyata kutulis. Melainkan baris-baris seperti puisi yang bagai datang begitu saja ….
19 Februari 1970
Siang ini, setelah kembali melempar ketiga jumrah, kami bersiap-siap untuk kembali ke Mekah. Ohh … sungguh kami sangat lega, sangat gembira, karena segenap rukun dan syarat haji telah kami penuhi.
Di atas bis, ke wajah siapa pun aku memandang, yang tampak adalah air muka sumringah air muka sukacita. Ya, ke manakah perginya segenap perasaan lelah?
Di tanganku, telentang dan terbuka di atas paha, adalah buku tulis yang kutekuni selama dua malam. Memang ternyata aku tak menuliskan apa-apa tentang butir-butir pikiran yang kurencanakan. Tetapi baris-baris serupa puisi itu, yang setelah selesai satu, kemarin malam malah bertambah – menjadi dua.
Bagian 32
Sungguh ajaib. Sungguh mencengangkan. Kenapa aku dapat tiba-tiba bisa menulis puisi? Guru Muqri. Guru Muqri.
Begini bunyi puisi pertama, puisi yang kutulis malam kemarin:
Selalu bertanam, buah seperti apakah yang kaupetik? Kulitnya kusentuhkan dengan kenyataan lalu isinya kausantap dengan lahap Jangan, jangan buang bijinya Kita tanam ia dalam daging, hidup telah bersumpah memberinya pupuk. Kupelihara dengan kecintaan Tidakkah kaulihat segalanya tumbuh?
Tumbuh ia, semakin subur
Tumbuh ia, semakin kubur
Semakin subur ia, semakin kubur tampaknya
Karena setiap sebab selalu direntang menuju akibat Rasa takut seperti apakah yang begini ngilunya?
Petiklah!
Mana bijinya?
Mari, kita tanam kembali
Sebuah puisi yang kata-katanya mengalir begitu saja. Sungguh aku tak tahu bagaimana tiba-tiba aku telah menulisnya. Saat itu aku hanya teringat dan berpikir tentang Adam, tentang Hawa, dan kesalahan yang mereka perbuat; tetapi Tuhan mengampuni dan “melemparkan” mereka ke dunia untuk hidup dalam ujian.
Puisi kedua, yang kutulis malam tadi, proses lahirnya lebih jelas. Yaa, tentang negaraku – negara kami. Segala rintangan dan pengalaman kami dihalang-halangi, ditambah pikiran dan keprihatinanku sendiri, telah melahirkan baris-baris (tetapi walau bagaimanapun tetap ganjil juga, karena tetap tak sesuai dengan yang kupikirkan semula) seperti ini:
Karena negeri ini indah, suatu kali aku berkeinginan untuk memindahkannya ke kanvas. Berpuluh, beratus kali kucoba, tapi tak pernah keindahan itu nyata Bagaimana, misalnya, pagi yang cerah setelah pindah ke kanvasku bisa tampak kelam dan senja?
Barangkali aku tak cukup berbakat untuk jadi pelukis. Bahkan pohon pisang kulukis tampak serupa pohon kelapa. Bahkan seekor kijang di kanvasku menjelma seekor kuda. Kenapa bisa? Aku ingin berhenti saja tapi alangkah sayang keindahan ini Aku ingin melupakan tapi amat ingin keindahan ini abadi Jadi aku terus melukis. Belajar, terus menahan rasa malu. Telah merusak banyak keindahan pada banyak pemandangan. Belajar, terus melukis. Berbulan-bulan, bertahun-tahun, lantas tercengang tak percaya melihat orang terkagum-kagum suatu ketika Lukisan yang indah!
Padahal amat buruk Ia temukan kesederhanaan bentuk!
O tidak Berulang-ulang aku melukis manggis, tapi selalu tampak serupa jeruk
Kenapa bisa? Telah dengan begitu jelas kupamerkan ketololan. Bahkan gaduh keramaian di kanvasku lebih tampak serupa kuburan. Tidakkah mereka lihat? Bahkan segala kelahiran, segenap pertumbuhan, setelah kulukis tampak seperti kehancuran
Lukisan yang indah!
Bagiku mengerikan
''Ia akan jadi pelukis besar!''
O tidak harus segera kuhentikan
Tapi celaka. Setiap kali ingin kuhentikan dorongan melukis kian hebat di dadaku. Kulukis becak menjelma sedan. Tak tertahan. Kulukis rumah-rumah megah terlukis barak-barak penampungan. Bagaimana aku harus menghentikan? Tolong
Tapi tak bisa. Kulukis matahari, cahaya hidup menjelma kegelapan. Tak tertahan. Kulukis sawah-sawah, padang gembala, desir hutan, tapi yang terlukis selalu kebalikan dari yang kuinginkan. Celaka. Bagaimana, misalnya, kalau suatu kali aku berkeinginan melukis kesungguhan? melukis kebenaran? O tolong. Aku, tolong hentikan

Theant Budiana

About the Guest Author:
Saya bukanlah orang yang ahli dalam dunia blogger tapi saya mencoba untuk berbagi ilmu dari apa yang saya ketahui dari paman saya, saya sangat suka blogging dan berbagi ilmu, tapi bukan berarti saya master blog salah besar jika sobat anggap saya hebat saya hanya seorang anak kampung yang mencoba untuk tidak kampungan dan tertinggal informasi alias GAPTEK, banyak artikel yang saya tulis di Blog Urang Sunda dan lihat juga blog saya satu lagi di Dunia Maya Saya dan klik disini untuk mengetahui lebih lanjut tentang saya


Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
warning

Anda bingung?
Jangan ragu untuk bertanya kepada saya lewat komentar di bawah, saya akan mencoba menjawabnya sesegera mungkin, bahkan jika sobat ada saran untuk saya silahkan jangan ragu untuk memberi saran kepada saya asalkan komentar no spam. Komentar anda, adalah bekal untuk kemajuan blog saya, saya akan kunjungi balik blog sobat jika sobat meninggalkan jejak sobat disini.

0 comments:

Comments
0 Comments
Facebook Comments Post by Blog Urang Sunda

Post a Comment

Sponsor BUS

Dapatkan juga sponsor untuk Blog anda dengan klik gambar di bawah, untuk mengetahui caranya KLIK DISINI. Kalo mau yang lebih tinggi penghasilannya KLIK DISINI Adsense Indonesia

Buat Blog

Alexa Rank

 

Info My Blog

cobi?
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.NetMsn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
web log free

Recent Comment

| BLOG URANG SUNDA © 2009. All Rights Reserved | Template Style by My Blogger Tricks .com | Design by Brian Gardner | Back To Top |