PADA TIKUNGAN BERIKUTNYA
Cerpen Musmarwan Abdullah
Aku berjalan kaki menempuh jalan pinggiran kota menuju ke kantor redaksi. Cerpenku kali ini dimuat pada saat yang tepat, di saat aku membutuhkan uang sesedikit apapun. Nah, cuma itu yang ingin kusampaikan padamu, kawan.
Selebihnya, tak ada yang dapat kuceritakan. Di ruang langit menggelantung awan-asap mesiu. Di hamparan tanah, darah berpercikan di batu-batu jalan. Dan, kemanapun wajah kupalingkan, yang kulihat hanya tentara-tentara.
"Berhenti!" tiba-tiba berteriak sekelompok tentara yang berdiri di tepi jalan yang tengah kulewati. Dan, begitulah aku wajib berhenti setiap tubuh kerempeng ini berpapasan dengan tubuh-tubuh mereka yang gagah dalam uniform militer yang megah.
"Angkat bajumu!"
Dan, aku mengangkat bajuku. Mereka meneliti sekeliling pinggangku. Tak ada pistol-rakitan yang terselip di sana. Tak ada sebilah rencong yang menantang di situ.
"Keluarkan kartu pendudukmu!"
Ya, kukeluarkan kartu pendudukku. Mereka membaca dengan suara agak tinggi: "Nama lengkap: Musmarwan bin Abdullah! Jenis kelamin: laki-laki! Tempat/tanggal lahir: Tanjong, sembilan-belas-enam-tujuh! Agama: Islam! Pekerjaan: penulis cerita pendek!" Sampai di sini mereka berhenti. Tentara yang membaca itu melihat ke arah temannya.
"Coba buktikan!" kata temannya itu.
Lalu mereka memberiku selembar kertas dan sebatang pena. Sambil tetap berdiri di situ aku menulis, "Tak ada yang dapat kuceritakan padamu, kawan, di saat inspirasi telah menjadi langka di ruang kontemplasi para tukang tulis cerita. Dialog telah gagal antara pemerintah dan kaum pemberontak. Pemerintah mengakui, mereka telah bikin melarat propinsi ini selama berpuluh-puluh tahun. Tetapi pemberontak tetap bersikukuh; ingin propinsi ini lepas dari republik. Maka pemerintah menetapkan propinsi ini dalam status darurat militer...."
"Hentikan!" teriak mereka. Dan begitulah aku wajib menghentikan tulisanku. Tentara yang berteriak itu melihat ke arah temannya. Teman itu mengangguk, "Orang ini dapat dipercaya," katanya. Lalu menyambung, "Darurat militer diberlakukan untuk menumpas pemberontak yang ada di seluruh propinsi ini, kau tahu?!"
Aku mengangguk. Dan, aku dilepaskan untuk meneruskan langkahku. Di tikungan berikutnya aku berpapasan dengan sekelompok tentara yang lain. "Berhenti!" teriak mereka.
Dan, aku berhenti.
"Angkat bajumu!"
Aku mengangkat bajuku.
"Mana Ka-Te-Pe-mu!"
Aku menyerahkan KTP-ku. Mereka membaca dengan suara agak tinggi, "Nama: Musmarwan bin Abdullah! Tempat/tanggal lahir: Tanjong, sembilan-belas-enam-tujuh! Kawin/tidak kawin: kawin! Pekerjaan: penulis cerita pendek!" Sampai di data ini mereka berhenti. Tentara yang membaca itu melihat ke arah temannya.
"Coba buktikan!" teriak temannya itu. Dan aku pun disuruh menceritakan sesuatu dengan lisan.
Sambil tetap tegak di situ aku berkata: "Tak ada yang dapat kuceritakan padamu, kawan, di saat inspirasi adalah ilham yang hampa di ruang kontemplasi para tukang tulis cerita. Aku tak punya keinginan untuk menembak tentara dan membunuh polisi karena aku bukan orang-orang pemberontak itu. Aku malah menyesal pada cerita-cerita ciptaanku yang tidak mampu memberikan pencerahan pada orang-orang kampung agar mereka tidak lagi memusuhi tentara dan membenci polisi, terutama di tengah darurat militer seperti ini. Atau barangkali selama ini memang ada yang tidak beres pada dua institusi ini?"
"Sudah! Cukup!" teriak mereka. Lalu menyambung, "Darurat militer digelarkan untuk menumpas pemberontak yang ada di seluruh propinsi ini, kau tahu?!"
Aku mengangguk. Selanjutnya aku bebas meneruskan langkahku. Dan, pada tikungan berikutnya aku berjumpa lagi dengan sekelompok tentara yang lain. Hal yang sama terjadi. Aku disuruh bercerita. Dan, aku bercerita. Dan, pada kalimat-kalimat terakhir ceritaku kubilang, "Aku bukan penganut rasisme. Waktu kaum pemberontak membunuh dan mengusir orang-orang transmigran, aku malah menangis sambil memeluk anakku karena terbayang pada anak-anak mereka yang terseret-seret di semak-semak belukar seraya mulut mendesis memanggil ibu atau ayah mereka yang terbunuh hingga tidak dapat menuntun mereka mengarungi belantara demi belantara."
"Sudah! Cukup! Sedih sekali kau bercerita!"
Dan, aku dibiarkan meneruskan jalanku. Di tikungan berikutnya lagi nasib yang sama menimpaku pula. Dan, aku bercerita lagi. Pada sepanjang kalimat terakhir kubilang, "Dulu waktu zaman DOM banyak orang kami yang mati tak wajar kendati kesalahannya sangat kecil dan cukup patut untuk dimaafkan. Sekarang ketika salah satu dari kelompok masyarakat propinsi ini mau benar-benar merenggut tanah kaya ini dari rangkulan republik, eee, semua mau pamer wajah dan jasa di sini. PMI dengan mayat-mayatnya, Komnas HAM dengan bukti-bukti orang matinya, Kontras dengan data-data orang hilangnya, televisi dengan liputan perangnya, LSM dengan jasa makelarnya, para cendekiawan dengan komentar-komentar empatinya. O, indah nian. Semua yang di ibukota kebagian job bagus di propinsi ini. Dulu waktu kami menggelepar-gelepar bagai binatang-binatang tak berharga di bawah matahari DOM, kemanakah mereka semuanya? Di propinsi malang ini, setiap tragedi kemanusiaan akan selalu tertutupi oleh tragedi kemanusiaan berikutnya. Lingkaran siklus itu telah membuktikan, ternyata mereka tidak berarti apa-apa bagi kami."
"Sudah! Cukup!" teriak tentara yang berdiri di depanku. "Baik! Jalan!" Dan, aku kembali meneruskan jalanku. Di tikungan berikutnya lagi-lagi kutemui nasib yang sama. Kukatakan pada mereka, "Dalam setengah hari ini aku sudah delapan kali di-sweeping. Apakah itu belum cukup?" "Haa.. haa.. haa...!" mereka tertawa. Lalu aku disuruh membuktikan dengan jalan meceritakan kembali kronologi pemeriksaan pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Ya, kuceritakan. Panjang sekali. Berbusa kedua pinggir mulut ini. Dan, setelah itu aku disuruh lanjutkan jalanku.
Pada belokan selanjutnya aku berpapasan lagi dengan sekelompok tentara yang lain lagi. Peruntungan yang menimpa tiada beda. Aku lagi-lagi disuruh bercerita untuk membuktikan bahwa aku benar-benar tukang cerita. Kubilang, "Tak ada lagi yang dapat diceritakan."
"Ceritakan saja!"
"Ruang langit tempat turunnya ilham telah tertutup asap mesiu."
"Cerita apa saja!"
"Tak ada."
"Tentang apa saja!"
"Tidak."
"Apa saja yang melintas di pikiran!"
"Tidak."
"Baik! Jalan! Memang sudah beku otak pengarang kita ini!"
Kulanjutkan perjalananku. Langkah tak bisa kucepatkan karena lelah. Ketika tiba di kanto redaksi, hari sudah sore. Staf bagian keuangan sudah pulang. Aku gagal mengambil honorariumku. Di dompet sudah tidak tersisa sepeser pun. Aku teringat, makanan yang tersisa di rumah hanya cukup dimakan berdua oleh anak dan isteriku tadi pagi. Dan malam ini tak ada sesuatu yang akan kubawa pulang. Mau mengutang, tidak ada tempat untuk mengutang di saat semua tengah melarat.
Aku tiba di rumah manakala senja baru berganti malam. Di kamar kudapati isteri dan anakku sudah tertidur pulas. Aku tahu kenapa isteriku mengambil inisiatif membawa tidur anak kami lebih cepat dari biasanya, hingga ia sendiri jatuh terlelap tanpa sengaja.
"Tuk.. tuk.. tuk!!!" ketika aku mau ikut tidur tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar. Aku dengan malas membukanya. Seorang tentara bertopi baja menjengukkan wajahnya melalui renggang pintu yang terkuak setengah. "Darurat militer diberlakukan untuk menumpas pemberontak yang ada di seluruh propinsi ini, kau tahu?!" katanya.
Aku mengangguk. Ia menarik kembali wajahnya. Pintu sudah boleh kututup kembali.
Saat Subuh kurebahkan tubuhku pelan-pelan di samping isteriku. Aku mendesiskan kata-kata mesra padanya, kata-kata selamat tidur. Ya, tidurlah kalian dengan lelap meski perut tidak terisi apa-apa sejak siang tadi. Yang penting jangan memberontak. Di negeri ini memberontak dilarang. Dan, yang lebih penting lagi, jangan menangis. Di propinsi ini tangis tiada artinya.
Kembang Tanjong, 27 Juni 2003
0 comments:
Post a Comment