Budiman duduk termenung.
Kalau saja ia sempat memegang tangan adiknya itu, mungkin Cut Rani, masih hidup. Tapi tidak, air laut telah merenggutkan semua anggota keluarganya. Pagi itu, 26 Desember 2004. Sejarah amat buruk menerjang Aceh.
Pagi cerah, sedikit berawan di langit Aceh. Seperti biasa, jarum jam bergerak teratur. Burung berkicau, ombak di pantai menghempas jinak. Anak-anak telah bangun. Tanpa jam. Yang lain, terlelap di ayunan. Masa depan yang buruk segera dimulai, tanpa orang Aceh dapat menolaknya. Di sejumlah desa dilangsungkan pesta perkawinan. Di tempat lain, orang bergegas ke sawah atau ke ladang. Di kota-kota penduduk bermalas-malasan di pagi itu.
Lantas, bumi pun rengkah. Gempa dangkal dan kuat telah terjadi tidak jauh dari Meulabuh. Lalu air laut mengamuk, membawa magma dari dasar laut. Melanyau seisi negeri. Ratusan ribu orang tewas seketika.
Kepiluan lalu terbentang panjang.
Budiman masih hidup.
Ia ingat adiknya, Cut Rani. Mayatnya tidak ditemukan. Juga tidak mayat ayah bundanya.
Budiman memegang foto adiknya yang disisakan oleh bencana. Cut adalah adik semata wayang. Cinta pada adiknya tak terbeli oleh apa pun jua. Budiman masih ingat, ketika sepekan menjelang musibah, Cut Rani merenggek minta ditemani untuk tampil menari di Banda Aceh.
Dan saat Cut Rani tampil, Budiman serasa memiliki seorang adik, seorang bidadari.
Malam itu:
Ruangan menjadi gelap. Lalu biang cahaya menusuk lembut ke kain putih yang jadi latar belakang pentas. Kain putih itu 'beriak' kecil.
"Assalamualaikum". Beberapa detik kemudian tari Poh Kipah dimulai. Cut Rani meliuk, ia seperti memegang keempat sudut pentas. Ia berlari, ia memainkan bola matanya.
Ketika Cut Rani mulai melentikan jemarinya, ketika hentak kaki menghantam lantai pentas, sepertinya saat itu, gerakannya sedang membawa ruh dari meunasah tua ke sisi tempat duduk para penonton. Ada 27 orang penari yang masuk silih berganti. Tapi, Cut Rani malam itu bagai penari tunggal.
Gadis siswi SMA kelas satu itu benar-benar menguasai gerakan tari yang ia bawakan. Memang sebelum tampil ia berbisik pada kakaknya. "Tari ini untuk kakak," katanya.
Poh Kipah yang berarti tarian kipas, sesungguhnya hanyalah tarian biasa, paut-memaut keseharian anak muda. Tapi, karena ini Aceh, maka tari itu berangkat dari meunasah (surau), sebuah institusi paling kokoh dalam menyemai pengetahuan agama (Islam) kepada anak negeri di Aceh. Nuansa Islam memang kental dalam tarian Pok Kipah ini. Suara pekikan, hentakan kaki yang kuat, keriangan dan kelincahan, benar-benar menjadi kunci suksesnya tari ini.
Begitulah empat orang penari wanita memasuki pentas. Di belakangnya telah duduk para pemain musik tradisi berupa serune kale, rapai dan gendang. Seorang wanita duduk bersimpuh di antara pemusik. Ia mendendangkan syair-syair tradisional. Tentunya bernafaskan Islam. Suasana mulai terasa makin riang, ketika 10 orang penari wanita kembali masuk. Ada kipas di tangannya. Kipas itu, membawa bebunyian yang indah, ditingkah dentum kaki pada lantai pentas dan tepuk tangan yang cepat, ligat dan seirama.
Pada akhirnya, penari tersisih menjadi tiga kelompok. Pada kiri kanan masing-masingnya delapan orang dan di tengah 11 orang penari. Sebenarnya di sanalah pesan itu mulai sempurna. Pesan tarian dari Aceh: mari bergotong-royong dalam keriangan. Mari bersatu dan kesatuan merupakan keindahan yang sungguh memukau. Kesatuan gerak, kesatuan sikap, kesatuan penampilan dan kesatuan hati, menghasilkan sebuah tari yang indah.
Tari Poh Kipah pada awalnya tari ini hanya dimainkan lelaki dan hanya di maunasah saat peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Namun kini, tarian itu, bergerak dari maunasah lantas (hendak) memberi kabar ke seluruh penjuru bahwa Aceh sesungguhhnya adalah keringan, bukan permusuhan apalagi kematian. Jika dulu geraknya hanya sederhana, kini diperkaya. Tapi tetap berpagut pada akar tradisi.
Memang malam itu, penari tampil paripurna. Apalagi Cut Rani.
Tapi, murai kecil itu telah pergi. Atau Cut Rani adalah burung kelana yang belum sempat berkenala. Saat sayap akan dikepak, nestapa merenggutkan segalanya
Budiman duduk termenung. Ia terkenang keluarganya. Ia teringat semuanya. Cut Rani, kini serasa berada di depan Budiman. Ia sedang menari. Tapi bukan tari Poh Kipah lagi. Melainkan tarian aneh. Mungkin tarian dari sorga. Cut Rani menari di atas awam yang merendah. Ia melekatkan cindai di pinggangnya. Di sisi Cut Rani, seorang penari lelaki nan jombang terlihat mengiringi ketukan kaki Rani pada lantai berpermadi merah.
Tak lama kemudian Rani seperti terbang ke langit yang berlapis. Mata Budiman melihat dengan jelas, Rani sedang berada di langit lapis keempat. Ia disambut seorang Nabi. Lantas Sang Nabi menepuk-nepuk pundaknya. Rani kemudian melesat kencang kembali ke bumi. Ke Tanah Aceh, ke dekat Budiman sedang duduk.
"Kakak." Ia menyapa.
Budiman gelagapan. Adiknya, menyapanya dengan suara lain. Suara itu seperti dipesan dari sorga.
Budiman telah mengenal sorga. Paling tidak dari cerita nabi-nabi yang dituturkan ibunya. Di sorga mengalir sungai yang airnya dari susu dan madu. Buah tumbuh lebat di mana-mana. Dipetik seketika, tumbuh lagi seketika. Di sorga bidadari ada di mana-mana.
Dan kini, adiknya jadi bidadari. Menari di hadapannya. Cut Rani terlihat lebih cantik, lebih putih dan jernih. Pakaiannya alangkah indahnya, tak tertandingi oleh pakaian siapa pun di dunia.
Tak lama kemudian muncul pula ibu dan ayahnya. Orang tuanya itu, memakai pakaian yang indah pula. Memanggil namanya. Keduanya kemudian mendekat dan mencium kening Budiman.
Budiman menangis. Air matanya jatuh ke tanah.
Ia ingin berbicara dengan orang tua dan adiknya. Tapi, lidahnya kelu. Ia ingin menggerakkan tangannya. Tapi tangan itu terasa amatlah beratnya. Ayahnya kemudian berbicara. Suara ayahnya menggema ke seluruh pelosok negeri.
Kata sang ayah:
"Nak, Naggroe Aceh Darussalam adalah sebuah daerah yang unik. Penduduknya dikenal paling gigih menentang penjajahan Belanda. Sepanjang sejarah kolonialisme Belanda di Hindia Belanda, hanya untuk Acehlah, diperlukan seorang penasehat ahli khusus bernama Snouck Hurgronje. Orang ini dibebani tugas khusus untuk mempelajari seluk-beluk Aceh, tentang kebiasaannya, adat dan terutama tentang Islam dan pemahaman orang Aceh atas agama tersebut. Pemikir kapir itu kemudian ternyata berhasil menemukan 'kunci sukses' untuk menaklukan Aceh.
Aceh baru benar-benar bisa ditaklukkan Belanda setelah 1900-an. Bahkan sampai 1942, rakyat Aceh terus mengganyang Belanda. Karena itu, kalau disebut-sebut Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, tidaklah benar, sebab ada bagian dari negeri ini, yang sulit disentuh Belanda.
Itu pun setelah perang hebat yang dikenal dengan Perang Aceh 1983-1904. Perang yang amat melelahkan itu benar-benar membuat Belanda hampir putus asa. Entah berapa banyak serdadu Belanda tewas di tangan pejuang Aceh. Perang hebat itu kemudian melahirkan sejumlah pahlawan Tanah Rencong: Teuku Umar, Cut Nya Dien, Panglima Polim dan sederatan nama lainnya.
Setelah kemerdekaan, Aceh menyumbang sebuah pesawat terbang bagi Indonesia. Pesawat pertama milik negara itu dibeli orang Aceh dengan uangnya sendiri. Berbagai upaya telah dilakukan untuk 'membujuk' Aceh. Pada tahun 1959, pemerintah memberikan status 'Daerah Istimewa' bagi provinsi itu. Rakyat Indonesia menyapa Aceh dengan sebutan, 'Serambi Mekah', atau 'Tanah Rencong'.
Sebutan Serambi Mekah sesungguhnya melekat pada Aceh karena Aceh merupakan pintu gerbang bagi rakyat Indonesia tempo doeloe untuk pergi ke Mekah guna menunaikan ibadah haji. Jemaah haji di Indonesia menjadikan Aceh sebagai tempat persinggahan mereka sebelum dan setelah kembali dari Mekah. Bahkan tidak jarang dari mereka menetap dulu di Aceh guna memperdalam ilmu agama, untuk kemudian baru kembali ke kampung masing-masing. Orang dulu naik haji selain menunaikan rukun Islam kelima, juga untuk menuntut ilmu agama.
Musibah Aceh adalah hukuman bagi Indonesia, bukan untuk Aceh, meski orang lain menyebutnya peringatan.Tapi ayah sudah bicara dengan Tuhan, ini adalah hukuman untuk Indonesia, negerimu!
Ketahuilah Nak, sejak 1511 sejak Melaka jatuh, sejak Islam meluas bermula dari Aceh hingga 2004, terpaut masa selama 493 tahun. Selama ini pula Aceh hanya memberi pada Indonesia, tapi tidak pernah menerima. Yang mereka terima terakhir hanyalah sebuah basa-basi belaka. Juga pembantaian demi pembantaian."
Suara itu berhenti. Hilang. Yang terlihat hanyalah Cut Rani. Gadis itu kembali menari Poh Kipah. Menari dan menari. Lalu dalam liukan terakhir, Cut Rani hilang entah kemana. Mungkin ia kembali ke sorga.
Budiman tersentak dari lamunannya.
Matanya terbelalak, yang terlihat hanyalah negeri yang rusak binasa, Sesayup-sayup mata memandang yang terlihat hanyalah kebinasaan yang tak terpermanai.
Budiman menangis. Sebuah tangis tanpa air mata.
About the Guest Author:
Saya bukanlah orang yang ahli dalam dunia blogger tapi saya mencoba untuk berbagi ilmu dari apa yang saya ketahui dari paman saya, saya sangat suka blogging dan berbagi ilmu, tapi bukan berarti saya master blog salah besar jika sobat anggap saya hebat saya hanya seorang anak kampung yang mencoba untuk tidak kampungan dan tertinggal informasi alias GAPTEK, banyak artikel yang saya tulis di Blog Urang Sunda dan lihat juga blog saya satu lagi di Dunia Maya Saya dan klik disini untuk mengetahui lebih lanjut tentang saya
Anda bingung?
Jangan ragu untuk bertanya kepada saya lewat komentar di bawah, saya akan mencoba menjawabnya sesegera mungkin, bahkan jika sobat ada saran untuk saya silahkan jangan ragu untuk memberi saran kepada saya asalkan komentar no spam. Komentar anda, adalah bekal untuk kemajuan blog saya, saya akan kunjungi balik blog sobat jika sobat meninggalkan jejak sobat disini.
0 comments:
Post a Comment