Wangi Melati yang Tersisa
Cerpen Damhuri Muhammad
"Aku tak takut mati, Jauhara! Bukankah hidup hanya sekAdar menunggu antrian di loket kematian?"*)
Benar! Tak ada yang mampu menolak ajal. Tapi, kenapa ia memilih cara mati sebagai pezina yang dirajam menjelang malam?**) Tak bisakah ia menjemput maut dengan cara yang lebih bermartabat? Mati sebagai ibu saat memacakkan janin dari rahimnya. Mati sebagai pejuang yang terbunuh tatkala meneriakkan yel-yel tuntutan kenaikan gaji buruh perempuan, atau mati syahid di tiang gantungan. Bukan mati dengan cara memasrahkan tubuh sintalnya pada lemparan batu yang mencabik-cabik kulit wajahnya. Mati terjungkal sebagai pendosa yang tertangkap basah bersenggama dengan lelaki begundal di remang senja.
Seingat Jauhara, itulah cara mati paling keparat yang pernah disaksikannya. Mayatnya menelentang di bibir trotoar. Darah masih mengucur di pipinya yang lebam, menetes perlahan di permukaan leher jenjangnya. Tak terlihat lagi alis mata lebat dan bertaut itu, juga rapi susunan giginya saat mengumbar senyum. Begitu pun aura memikat yang menyemburat dari sepasang mata elangnya. Musnah sudah! Pelipisnya pecah, berdarah-darah. Ia bukan siapa-siapa lagi, hanya bangkai yang tak akan dikuburkan. Tak ada tanah pemakaman bagi mayat pezina di kota ini.
Meisya, begitu Jauhara memanggilnya. Nama yang ringkas. Seringkas jeda waktu ia berkeputusan pensiun sebagai sundal paling laris. Dia meninggalkan dunia hitam dan tiba-tiba menyatakan cinta pada Jauhara, persis di saat puluhan lelaki ingin menikmati ranum tubuhnya.
"Aku tak akan melacur lagi jika sudah menjadi binimu!" janji Meisya seperti bersijujur.
"Menikah denganku hanya menurunkan derajat kepelacuranmu!. Aku tak akan membayarmu seperti puluhan lelaki itu membelimu!" balas Jauhara, setengah menolak.
"Aku ingin menjemput maut saat berada dalam genggamanmu! Jadikan aku istri syahmu, Jauhara!" pinta Meisya lagi.
Kota rebah di belantara sunyi yang pekat. Tak riuh dari deru mesin kendaraan. Dentang klakson bis malam pun tak terdengar. Sunyi. Tapi, Jauhara tak hendak beranjak, masih duduk membatu di samping Meisya, seonggok bangkai pezina yang dibantai dengan cara paling keji.
"Katanya kau ingin mati sebagai perempuan terhormat, kenapa kau tinggalkan aku? Lalu, kau serahkan tubuhmu pada lelaki iblis itu, hingga orang-orang di seantero kota ramai-ramai merajammu," batin Jauhara, menggerutu. "Atau memang sudah lumrah, pelacur kembali menjadi sundal?" gerutunya lagi.
Disekanya bercak-bercak darah pada pipi kanan mayat Meisya. Diusapnya bekas-bekas luka di kuduknya. Diselimutinya bangkai itu dengan sobekan kain spanduk yang direnggutnya dari pagar di pinggir traffic light. Diciumnya leher mayat Meisya. Dipeluknya. Didekapnya. Andai Jauhara masih bisa menangis, tentu ia akan meratap sejadi-jadinya. Tapi, sejak kepergian Meisya ia tak punya air mata lagi. Mungkin tangisnya jatuh ke dalam, ke sebuah liang di ulu hatinya, menggenang di sana. Ia tak mampu mengukur seberapa dalam genangan tangisnya kini.
Meisya memang sudah terbujur jadi mayat. Tapi, Jauhara tak lupa raut wajahnya, karakter senyumnya, sorot tajam yang memancar dari mata coklatnya. Motif gaun pengantin yang dikenakannya pada upacara pernikahan sederhana -- tanpa pesta, tanpa doa, tanpa restu. Mayat itu pernah menjadi perempuannya. Dulu, mereka hidup di kota yang sama, rumah yang sama, kamar yang sama, bahkan selimut yang sama. Jauhara tak lupa, karena ia sangat merindukan Meisya.
Setahun lalu, Meisya hengkang dari hidup Jauhara. Tubuhnya berpindah ke genggaman lelaki lain. Rebah dan bersandar di dada bidang lelaki itu. Jauhara pun sudah berhenti mencarinya. Bukan karena lelah. Tapi, karena sudah mustahil merebut tubuh istrinya yang sedang dalam genggaman lelaki jahannam itu. "Barangkali kau tak sungguh-sungguh ingin berhenti melacur!" umpat Jauhara waktu itu.
Bersusah payah Jauhara hendak menguburkan hasrat rindu pada Meisya. Ingin dilupakannya kenangan tentang segelas kopi panas dan sepiring pisang goreng yang tersuguh dengan tatapan teduh. Tentang tawa riang yang menyejukkan, bahkan tentang kecupan malam yang menyisakan basah di kening Meisya. Telah dipijak-pijaknya kenangan itu dengan hentakan langkah kaki dalam rentang panjang tualangnya.
Tapi, wangi Melati yang berasal dari lenguh nafas Meisya masih melekat di kedua belah telapak tangannya, lehernya, kuduknya, dan dada tipisnya. Hari ke hari, bau khas tubuh Meisya yang tertinggal di tubuh Jauhara itu kian menyengat. Tubuhnya menjelma ladang tempat tumbuh suburnya harum Melati, puing peninggalan Meisya. Berurat, berakar, dan berkelindan dengan daging pembalut belulangnya.
Sejak kepergian Meisya, tak terhitung entah berapa banyak bau tubuh perempuan yang telah dihisap Jauhara. Demi mengusir yang satu, Jauhara mengundang yang banyak. Demi melupakan kenikmatan yang satu ia menciptakan kenikmatan yang banyak. Demi menguburkan kenangan yang satu ia merajut kenangan yang banyak. Kenangan dengan sekian banyak perempuan.
Tubuhnya manifestasi kutu loncat yang berpindah-pindah dari satu tempat hinggap ke tempat hinggap yang lain. Sehari pun, Jauhara tak pernah kekosongan perempuan. Seringkali ia kesulitan menyatakan penolakan secara halus. Meski menolak yang satu, esoknya ia kedatangan perempuan lain. Tak pernah putus. Satu demi satu datang menghampirinya, menyandar di dadanya, mempersilakan Jauhara menghisap aroma tubuhnya. Setelah Jauhara puas, mereka pergi. Lalu, datang lagi perempuan baru.
Nyaris pada setiap perempuan itu, Jauhara bermohon agar mereka berkenan meninggalkan bau tubuh masing-masing di tubuhnya. Untuk memusnahkan wangi melati sisa-sisa peninggalan perempuan masa lalunya. Sialnya, tak satu perempuan pun yang mengabulkan permintaan lelaki itu.
"Bukan aku tak mau, tapi tak mampu! Wangi anyelirku tak mampu membunuh harum melati tubuhnya!" kilah seorang perempuan menolak keinginan Jauhara.
"Mana mungkin wangi anggrekku mematikan melati di tubuhmu, Jauhara? Kau tak sungguh-sungguh ingin membunuhnya. Diam-diam kau masih menikmatinya bukan?" kata perempuan yang lain lagi.
Suatu hari, ia kedatangan perempuan yang bukan hanya cantik, tapi juga cerdas. Ia tergila-gila pada kecerdasan perempuan itu. Baginya, bagian paling seksi dari tubuh perempuan adalah otaknya.***) Bukan betis bunting padinya, bukan pula lentik bulu matanya, tidak juga ramping pinggangnya. Lagi-lagi, tak ada keinginan yang hendak diraihnya dari perempuan itu, kecuali memintanya meninggalkan bekas bau tubuhnya di tubuh Jauhara.
"Maafkan aku, Jauhara! Aku tak mampu menghapus wangi melati di tubuhmu dengan harum mawar tubuhku!" kata perempuan itu.
"Kenapa? Ada apa denganmu?" balas Jauhara, ganti bertanya. Heran.
"Tak ada lagi aroma mawar di tubuhku!" jawabnya. Jujur.
"Lelaki mana yang telah menghisap wangi mawarmu?"
"Tak ada lelaki dalam hidupku sejak aku mengenalmu!"
"Lalu?"
"Wangi mawarku sudah mati terbunuh oleh harum melati di tubuhmu, sisa bau tubuh perempuan masa lalumu itu!" jawab perempuan itu.
"Jika tubuhmu tak memiliki harum mawar lagi, bagaimana cara memusnahkan wangi melati di tubuhku?" tanya Jauhara lagi.
"Cari perempuan itu! Bermohonlah agar ia mau merenggutnya dari tubuhmu!"
"Jika ia tidak mau?"
"Hanya ada satu cara, Jauhara!"
"Apa cara itu, sayang?"
"Wangi melati itu telah menjelma bayangan yang selalu akan membuntutimu. Sulit sekali membunuh bayangan itu, Jauhara! Tapi, jika kau memang hendak memusnahkannya, maka bunuhlah dirimu! Wangi Melati di tubuhmu pasti akan mati, mengiringi kematianmu!"
Jauhara pun tak takut mati. Tapi, ia tak akan memilih cara mati sebagai pezina yang dirajam menjelang malam. Akan dijemputnya maut dengan cara lebih khidmat. Bahkan, (kalau bisa) cara mati yang lebih nikmat. Demi mematikan wangi melati yang bersarang di tubuhnya, Jauhara harus membunuh dirinya. Direguknya sebotol soft drink yang telah dicampur larutan berisi bubuk arsenik.
Tak lama berselang, hawa tubuhnya panas. Cairan di dalam usus-ususnya mendidih. Sulit sekali ia mengendalikan detak jantung. Kian lama kian kencang. Jauhara mengerang kesakitan. Sesaat sebelum tubuhnya hilang keseimbangan dan tersungkur di pinggir trotoar di samping mayat Meisya, masih sempat dibisikkannya sepenggal kalimat perpisahan:
"Sampai jumpa di Neraka yang sama, Meisya!"
Yogyakarta, Agustus 2004
*) Martina Uki, Mayat yang Bisa Bicara dalam buku kumpulan cerita pendek Yang Dibalut Lumut, CWI, Jakarta, 2003.
**) Goenawan Mohamad, Perempuan Yang Dirajam Menjelang Malam, dalam Sajak-sajak Lengkap 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, 2001, sekaligus menjadi inspirasi cerita ini.
***) Rini TS, Cincin Bernama, Jawa Pos, 04 April 2004.
( )
0 comments:
Post a Comment