DIJEMPUT BIDADARI
Cerpen Lila Fitri Aly
Dari balik terali besi, berhari-hari Juned menunggu kedatangan Cut Anissa, tetapi wajah sang istri tak muncul-muncul juga. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, Juned masih menunggunya, namun Anissa tak hadir-hadir juga. Juned rindu melihat wajah cantik-anggun yang dibungkus jilbab itu. Pikirannya menerawang, benarkah dia telah tiada?
''Bang Juned, bertawakallah. Tak perlu menunggu istrimu yang telah pergi,'' kata Si Gam Cut, temannya, yang berseberangan sel. ''Gam Cut jangan bilang begitu. Ucapanmu membuatku sengsara. Aku tak mau mendengarnya lagi,'' balas Juned setengah marah. Melihat reaksi sahabatnya yang begitu tajam, Gam Cut menarik diri. Dia tidak ingin memperkeruh suasana.
Sejak Anissa tak pernah muncul ke penjara, semangat hidup Juned meredup. Rambutnya, kumisnya, dan jenggotnya dibiarkan tumbuh berantakan. Hari-hari Juned berdiri termenung di balik pintu penjara, memandang ke arah pintu masuk, mengharapkan sipir memanggilnya, sambil mengatakan bahwa istrinya telah menanti di ruang tunggu.
''Bang, Bang Sipir, adakah seseorang mengunjungiku?'' tanyanya pada sipir penjara di kota Jantho itu.
''Tak ada, Bang. Maaf,'' jawabnya singkat dan tak ramah. Lurus langkahnya, tak melihat kiri kanan.
Biasanya Anissa datang seminggu dua kali, sesuai jadwal kunjungan yang telah disepakati. Ketika datang menemui suaminya, dia tak pernah dengan tangan kosong. Selalu ada makanan enak yang dibuatnya, dan teman-teman Juned pun bisa ikut mencicipinya.
''Aku rindu makanan yang dibuat Anissa,'' ucap Juned pada Gam Cut. Keduanya sama-sama dipenjara, tetapi dengan kasus yang berbeda. Gam Cut lebih terhormat karena dia tahanan politik, sementara Juned tahanan kriminal, akibat korupsi. Karena keterbatasan tempat, mereka dijadikan satu. Di waktu senggang, ketika lagi mengganggur, keduanya saling mencurahkan isi hati. Namun, sepi hati itu tak terobati.
Telah tiga bulan Anissa tak muncul. Juned sering cemburu melihat teman-temanya yang lain dikunjungi keluarganya. Biasanya Anissa selalu datang mengunjunginya, walaupun dia tinggal di Banda Aceh. Karena penjara ini di luar kota, Anissa harus naik bus, labi-labi, ataupun naik motor diantar oleh anak tetangganya. Namun, tak ada keluhan dari bibirnya. Melihat pengorbanan istrinya, dan dosanya pada Anissa, Juned sangat malu dan selalu minta maaf padanya.
''Allah saja memaafkan, kenapa aku tidak, Bang,'' jawabnya singkat. Juned menangis kalau Anissa menjawab demikian. Juned tak habis pikir kenapa dia bisa khilaf, sampai hati menyakiti istrinya, yang telah menemaninya dari masa susah. Keterlibatannya dengan perempuan lain yang menghancurkan mereka. Seringkali Juned bermimpi diberikan kesempatan hidup sekali lagi untuk beberapa saat bersama Anissa. Obesesinya membuatnya sering mengigau siang-malam.
Gam Cut yang ada di depannya sering menasehatinya, ''Bang Juned, sadarlah diri. Kok seperti bukan orang beriman. Setiap makhluk di dunia ini tak luput dari kematian. Hanya kita tidak pernah tahu di bumi mana kita dikuburkan. Begitu juga istrimu dan istriku. Mereka sama-sama telah menghadap Allah, walaupun dengan jalan yang berbeda. Istriku tertembak peluru nyasar dan istrimu diambil tsunami. Kalau sudah tiba waktunya, tak ada yang kuasa menolaknya.''
''Aku yakin dia masih hidup. Paling dia terbawa air dan terdampar di suatu tempat,'' ujar Juned getir.
''Semua orang di kampungmu sudah tahu apa yang terjadi pada istrimu. Cut Anissa telah meninggal. Tidak perlu lagi bermimpi. Lebih baik kita mempelajari Alquran untuk mengisi batin ini,'' Gam Cut kembali mengingatkan sahabatnya. Juned terdiam. Dia tetap berharap istrinya selamat. Tak sanggup mendengar kata-kata Gam Cut, Juned membuka buku coretannya. Di antara lembaran-lembaran lusuh, dia mengambil foto Anissa. Foto kenangan hari pernikahan mereka.
Suatu yang mengejutkan terjadi. Juned dibebaskan lebih awal. Dia banyak mendapat remisi, karena tingkah lakunya yang baik, mau bekerja sama dan menyenangkan. Di satu sisi, teman-temannya ikut bahagia dengan berita ini, tetapi di sisi lain, mereka merasa kehilangan. Juned sendiri ragu untuk melangkah ke luar penjara. Kemanakah dia akan pergi?
Tak ada orang yang menjemputnya ketika dia bebas. Sungguh berat kakinya melangkah. Begitu sampai di terminal, dia segera turun. Langkah-langkahnya terus diayunkan, tanpa tahu harus ke mana. Kalau dalam keadaan begini, Juned berpikir kenapa penjara Jantho tidak dimakan tsunami saja. Bukankah dengan demikian urusannya di dunia jadi selesai? Pikiran Juned bergumul. Adakah yang dulu bisa membayangkan, seorang walikota yang memiliki kedudukan terhormat seperti dirinya, akhirnya menjadi seorang yang papa?
Matanya terus membasah. Di dalam usianya yang ke-53, dia harus menjalani hidup sendiri. Mestinya dia hidup bahagia bersama Anissa dengan harta yang tak berlebihan, walaupun tak punya anak. Tapi, amibisi yang terlalu besar telah menghancurkan dirinya. Padahal ketika itu bisnisnya sudah mapan, dan ia bahagia bersama Anissa. Bisnisnya sebagai kontraktor berjalan lancar, karena banyak mendapat proyek pembangunan jalan, jembatan, dan sekolah dari pemerintah daerah.
Hingga suatu ketika, banyak orang mendorongnya terjun ke politik. Diapun tergiur, dan mencalonkan diri sebagai walikota. Ternyata bermain politik besar ongkosnya. Selain menguras hartanya, dia terlibat utang. Juned memang suka tantangan, dan berani menerima risiko.
Diapun memenangkan pertarungan. Namun pendukung-pendukungnya tidak mau menunggu lama. Mereka menuntutnya untuk segera membayar utang itu. Mereka juga menagih proyek-proyek besar. Itulah awal kehancurannya. Karena uangnya terkuras habis, Juned mulai bermain dengan uang anak negeri. Banyak mark up yang harus dilakukan supaya ada margin besar untuk dibagi-bagi. Seperti biasa, ekonomi biaya tinggi tak dapat dihindarinya. Uang-uang itu dipakai untuk membayar ongkos politiknya yang mahal.
Yang paling fatal adalah dia terlibat kisah asmara dengan seorang artis ibu kota. Dia terkesima dengan kecantikannya, badannya yang sexy dan goyangnya yang aduhai. Awalnya perempuan itu direkrut untuk vote getter-nya. Ternyata berkelanjutan dalam ranah pribadi. Tangisan istri tak digubrisnya. Nasehat dari para tetua tak pernah didengarnya. Kembali uangnya dikuras, kini oleh cem-ceman-nya.
Hingga kemudian korupsi yang dilakukanya mulai terungkap di media massa dan berbuntut ke pengadilan. Untuk sementara jabatannya sebagai walikota harus dilepaskan, diganti oleh wakilnya. Namun, karena kasusnya berkepanjangan, dia harus meletakkan jabatannya. Sejak saat itu si artis ibukota pun menghilang dengan mengeruk banyak uang.
''Cut Anissa sedang menunggu labi-labi ketika tsunami menjemputnya,'' kata saksi mata yang ditemui Juned, di Merduati.
Ketika mayatnya ditemukan, Anissa masih memegang erat rantang berisi makanan yang akan diantarkan untuk suaminya. Pada hari Minggu itu dia memang berjanji mau membuatkan tumis kemamah permintaan suaminya. Cut Anissa, surga untukmu istriku, kata Juned berdoa untuk istrinya di kuburan massal itu. Kesetiaan, dan pengabdian kekasih hatinya itu sungguh luar biasa. Hanya perempuan yang berimanlah yang bisa seperti dia. Sementara dirinya hanyalah mantan narapidana.
''Hey, Bang, kalau jalan jangan ngelamun,'' teriak seorang tukang becak. Rupanya Juned telah berjalan agak ke tengah, dari jalan utama yang cukup padat.
''Oh, oh, maaf,'' jawabnya tergagap, sambil meminggirkan dirinya. Tiba-tiba Juned merasa sangat kelelahan dan tak sanggup menapakkan kakinya. Ia jatuh tak sadarkan diri. Kemudian dia mendengar teriakan-teriakan di sekitarnya. Segala macam suara, begitu riuh rendah, dan dia tak tahu berada di mana.
Di kejauahan, Juned melihat lambaian tangan istrinya dengan baju dan kerudung berwarna putih. Cantiknya Anissa bak seorang bidadari. Dia seperti tersenyum menyambut kedatangannya. Junedpun ikut melayang mengikuti gerakan istrinya.
0 comments:
Post a Comment