''Kulihat, pengantin pria itu tua. Apakah dia kaya jemaah?''
Kupandang wajah lelaki itu. Wajahnya bersih. Dia muda. Mungkin dia dari jenis orang yang suka bermain kata.
''Aku tak mengerti maksudmu, kaya jemaah?''
''Sekarang semua telah berubah. Waktu aku di kampung, di masa aku mengaji, tak pernah ustad kami mengarahkan kami berzikir dalam sedu-sedan air mata. Maksudku, sekarang ini, bagi para penganjur akhlak untuk terbuka pintu surga, makin kaya jemaah, makin kaya materinya, makin terbuka kesempatan baginya menambah istri muda.''
''Memang, semua sudah berubah. Surga tidak lagi di bawah telapak kaki Ibu, tapi sudah di bawah telapak kaki Mama.''
''Mama dipakai anak orang-orang kaya. Golongan menengah ke atas. Jadi, supaya negeri kita ini makmur, kaya seperti pemakai kata Mama, Ibu Pertiwi sebaiknya dirobah menjadi Mama Pertiwi.''
''Kembali kepertanyaan saya tadi, apakah pengantin pria ini dari jenis semacam itu? Kaya jemaah?''
''Oh tidak. Dia tidak dari jenis semacam itu, penganjur akhlak untuk terbuka pintu surga. Dia orang biasa. Dia miskin jemaah.''
''Kulihat dia sudah berumur.''
''Tua maksudmu? Apa ada yang salah bila dia tua? Ini adalah pernikahan setelah istrinya meninggal tiga bulan yang lalu. Cukup lama dia menduda. Apa ada yang salah dengan umur seorang pengantin pria?''
''Oh tidak. Tidak ada yang salah. Cuma saya bertanya-tanya, apakah dia masih bisa? Oh maaf, maksudku, umpama petani, apakah dia masih bisa membenam bajak? Pengantin perempuan itu perawan.''
Pertanyaan yang tak berakhlak. Kupandang lagi wajahnya. Dia memang muda. Tidak ada salahnya kalau dia meragukan kemampuan orang tua. Dia senyum menanggapi reaksiku yang tak suka. Dia seperti hendak menarik pertanyaannya. Dia mungkin sadar, sebaiknya dia tidak mengajukan pertanyaan seperti itu.
''Aku tetangga pengantin wanita. Apakah si tua itu kaya?''
''Tidak sekaya yang mungkin Anda duga. Aku tetangganya. Aku tahu betul siapa dia. Seorang pensiunan pegawai negeri. Uang pensiunnya cukup untuk mereka berdua. Semua anaknya sudah menikah. Tinggal di rumah mereka sendiri-sendiri. Impiannya akan istri selalu datang dalam tidurnya. Sepuluh tahun dia rawat istrinya di tempat tidur dan kursi roda. Tiga bulan yang lalu istri itu meninggal. Coba Anda bayangkan. Sepuluh tahun tiga bulan dia menduda! Tentu Anda paham apa yang saya maksud. Dan dia adalah lelaki yang taat pada agamanya. Dia punya pensiun. Dia tidak ingin kalau dia sakit, atau renta, bukan muhrim yang merawatnya.''
''O begitu. Sepuluh tahun istrinya sakit. Selama itu pula dia menduda? Lalu ditambah tiga bulan. Aku faham, aku bisa menangkap maksud Anda.''
''Apa yang engkau ketahui mengenai pengantin wanita? Engkau katakan, engkau tetangganya.''
''Dia gadis tua di kampung ini. Dia tidak laku-laku. Ayahnya sangat memilih. Dia tidak ingin nasib kakak-kakaknya terulang pada anak bungsunya itu. Dia ingin menantu terakhirnya seorang pegawai, sukur-sukur kalau yang melamar itu pegawai negeri. Tetapi harapan itu tak pernah datang. Gadis itu pun menjadi tua. Tadi Anda bilang lelaki itu pensiunan pegawai negeri. Mungkin itu pula yang menjadi pertimbangan si Ayah. Menantunya pensiunan pegawai negeri.''
Di halaman berikutnya tercetak foto almarhumah dalam warna sempurna dan dalam bulatan yang dilingkari ornamen kaligrafi Arab.
Waktu pamit kujabat tangan duda tua itu. Aku mengulang apa yang pernah kuucapkan 40 hari yang lalu sebagai ungkapan belasungkawa.
''Tabahlah. Bukan main berat cobaan yang Allah beri kepada Bapak. Hanya lima hari Allah beri waktu bulan madu untuk Bapak.''
''Tunggu. Jangan pulang lebih awal. Ada yang ingin kutunjukkan.''
Aku tertahan di ruang tamu. Setelah tinggal sendiri, dia menarik tanganku ke ruang dalam.
Aku jadi terpaku. Dia masuk ke ruang dalam. Terdengar bunyi engsel berkarat. Dia muncul membawa tiga buku kecil yang tipis. Dia buka buku-buku itu menurut urutan tanggal dan menunjukkannya kepadaku. Buku pertama memuat foto seorang perempuan dalam lingkaran bulat telur dan namanya sebagai suami yang berduka.
''Pikiran ke arah itu selalu menggoda. Aku pensiunan pegawai negeri. Semasa dinasku aku tak pernah menyelewengkan uang negara. Kesempatan untuk itu cukup terbuka. Tetapi tidak aku gunakan. Aku sekarang ingin mendapat lebih dari pengabdian yang bersih itu. Aku tidak ingin tinggal di rumah jompo. Aku tidak ingin yang bukan muhrim mengurus hari-hari tuaku. Mengurus hari-hari pikunku. Aku tak ingin merepotkan anak dan cucu-cucuku. Kalau aku meninggal, aku ingin ada janda yang meneruskan uang pensiunku.''
''Kalau begitu, tidak menutup kemungkinan akan terbit buku duka yang kelima.''
About the Guest Author:
Saya bukanlah orang yang ahli dalam dunia blogger tapi saya mencoba untuk berbagi ilmu dari apa yang saya ketahui dari paman saya, saya sangat suka blogging dan berbagi ilmu, tapi bukan berarti saya master blog salah besar jika sobat anggap saya hebat saya hanya seorang anak kampung yang mencoba untuk tidak kampungan dan tertinggal informasi alias GAPTEK, banyak artikel yang saya tulis di Blog Urang Sunda dan lihat juga blog saya satu lagi di Dunia Maya Saya dan klik disini untuk mengetahui lebih lanjut tentang saya
Anda bingung?
Jangan ragu untuk bertanya kepada saya lewat komentar di bawah, saya akan mencoba menjawabnya sesegera mungkin, bahkan jika sobat ada saran untuk saya silahkan jangan ragu untuk memberi saran kepada saya asalkan komentar no spam. Komentar anda, adalah bekal untuk kemajuan blog saya, saya akan kunjungi balik blog sobat jika sobat meninggalkan jejak sobat disini.
0 comments:
Post a Comment